Jejak Jejak di Jalan

Jejak Jejak di Jalan

Lari. Teruslah Berlari.

1
| Jumat, 17 Juni 2011
"Sibuk sekali, ya?"

Aku pikir itu bukan sekedar kalimat tanya. Lebih terdengar seperti sebuah penilaian pribadi atau kritik barangkali. Ah, seandainya aku punya cukup waktu, bersedia menepikan motor, mematikan mesin mobil, atau menarik rem sepedaku, berhenti, lalu menjelaskan semuanya.

Mustahil. Mana bisa seperti itu. Setiap hari aku cuma dijatah 24 jam untuk mengejar banyak hal. Persiapannya, prosesnya, ya semuanya...mana bisa aku singgah dan menjelaskan ? Gerhana bulan beberapa hari yang lalu pun tak sempat kuperhatikan, padahal di rentang waktu kejadiannya, aku tengah bertarung di luar rumah, di bawah langit yang ternyata tengah memesona banyak manusia. Alih-alih menyeduh teh dan berbincang dengan ayah, aku sibuk menatap lurus ke depan, menyapu kanan ke kiri menangkap semua posibilitas dan terus memacu kaki, mana terpikir menengok ke atas ? Lutut yang membiru pun tak kutau apa yang membenturnya.

Ada yang lucu. Sesekali aku berpikir sambil menatap_seringkali menghitung_ garis-garis putih di aspal jalan sepanjang perjalanan. Aku curiga, jangan-jangan mereka sebenarnya memang tak bertanya. Karena setiap pertanyaan pasti mengejar jawaban. Buktinya, mereka hanya  bertanya, tak ada yang mendesak jawaban. Aku takut malu, jangan-jangan di lubuk hati kecilku, akulah yang butuh membagi kisah tentang kesibukanku, sementara tak seorang pun yang mau tahu.

Hahaha...sudahlah. Mari lagi lari, Nuri...jejak-jejak akan mengikuti :)

Senja dan Nura

0
| Rabu, 25 Mei 2011

senja di jalur Sabiah. Nuri's pic.2011

Senja datang jam berapa?
Tanyamu tak sempat kutimpali jawab. Mataku masih protes pada telinga yang begitu peka pada alarm yang entah kenapa diset terlalu dini. Kau masih menunggu tapi aku sibuk mendongkrak semangatku untuk bangkit dan mandi. Ah, seandainya ada cara lain memulai ritual hari selain mandi. Aku tak biasa berlama-lama di gelembung sabun yang wangi. Lagipula kau bertanya terlalu pagi.
Senja datang jam berapa?
Tanyamu tak sempat kutimpali jawab. Ada belasan buku yang harus kubaca. Tebal-tebal pula. Bukan inginku, tapi sungguh itu perlu. Jika saja kau bisa mendengar suaranya memanggil-manggil untuk dibuka. Yang paling menjengkelkan ketika otakku buntu saat tersesat dalam ruang masalah yang kuncinya belum pernah kujamah. Padahal lembaran di lembaran buku itu semua tertera. Jadi ini penting. Lebih penting dari senja.

Monolog Rindu

0
| Senin, 23 Mei 2011
Suatu kali kutemukan diriku sangat pongah. Tertawa-tawa seakan telinga di dunia hanya dua. Aku juga meloncat, berteriak, berlari, sampai peluh membanjiri pori-pori. Aku tidak peduli. Aku paling bahagia sedunia. Aku sembuh dari kesakitan yang tidak semua orang bisa.
Sekali waktu kutemukan dirimu berdiri di ujung hari. Saat pukul enam petang melebarkan senyumnya sebagai tanda kita segera mulai bertukar cerita. Sementara bola kuning di langit baratku memilih turun ke pelukan tanah sebelah, bola-bola kuning lain berlompatan keluar dari kotak kecil bagian kiri layarku. Aku sama seperti bola-bola kuning itu ; girang ketika mendapatimu disitu.
 

Copyright © 2010 Nuri Note - Nuri Note - by Nuri Nura