Jejak Jejak di Jalan

Jejak Jejak di Jalan

Lari. Teruslah Berlari.

1
| Jumat, 17 Juni 2011
"Sibuk sekali, ya?"

Aku pikir itu bukan sekedar kalimat tanya. Lebih terdengar seperti sebuah penilaian pribadi atau kritik barangkali. Ah, seandainya aku punya cukup waktu, bersedia menepikan motor, mematikan mesin mobil, atau menarik rem sepedaku, berhenti, lalu menjelaskan semuanya.

Mustahil. Mana bisa seperti itu. Setiap hari aku cuma dijatah 24 jam untuk mengejar banyak hal. Persiapannya, prosesnya, ya semuanya...mana bisa aku singgah dan menjelaskan ? Gerhana bulan beberapa hari yang lalu pun tak sempat kuperhatikan, padahal di rentang waktu kejadiannya, aku tengah bertarung di luar rumah, di bawah langit yang ternyata tengah memesona banyak manusia. Alih-alih menyeduh teh dan berbincang dengan ayah, aku sibuk menatap lurus ke depan, menyapu kanan ke kiri menangkap semua posibilitas dan terus memacu kaki, mana terpikir menengok ke atas ? Lutut yang membiru pun tak kutau apa yang membenturnya.

Ada yang lucu. Sesekali aku berpikir sambil menatap_seringkali menghitung_ garis-garis putih di aspal jalan sepanjang perjalanan. Aku curiga, jangan-jangan mereka sebenarnya memang tak bertanya. Karena setiap pertanyaan pasti mengejar jawaban. Buktinya, mereka hanya  bertanya, tak ada yang mendesak jawaban. Aku takut malu, jangan-jangan di lubuk hati kecilku, akulah yang butuh membagi kisah tentang kesibukanku, sementara tak seorang pun yang mau tahu.

Hahaha...sudahlah. Mari lagi lari, Nuri...jejak-jejak akan mengikuti :)

Senja dan Nura

0
| Rabu, 25 Mei 2011

senja di jalur Sabiah. Nuri's pic.2011

Senja datang jam berapa?
Tanyamu tak sempat kutimpali jawab. Mataku masih protes pada telinga yang begitu peka pada alarm yang entah kenapa diset terlalu dini. Kau masih menunggu tapi aku sibuk mendongkrak semangatku untuk bangkit dan mandi. Ah, seandainya ada cara lain memulai ritual hari selain mandi. Aku tak biasa berlama-lama di gelembung sabun yang wangi. Lagipula kau bertanya terlalu pagi.
Senja datang jam berapa?
Tanyamu tak sempat kutimpali jawab. Ada belasan buku yang harus kubaca. Tebal-tebal pula. Bukan inginku, tapi sungguh itu perlu. Jika saja kau bisa mendengar suaranya memanggil-manggil untuk dibuka. Yang paling menjengkelkan ketika otakku buntu saat tersesat dalam ruang masalah yang kuncinya belum pernah kujamah. Padahal lembaran di lembaran buku itu semua tertera. Jadi ini penting. Lebih penting dari senja.

Monolog Rindu

0
| Senin, 23 Mei 2011
Suatu kali kutemukan diriku sangat pongah. Tertawa-tawa seakan telinga di dunia hanya dua. Aku juga meloncat, berteriak, berlari, sampai peluh membanjiri pori-pori. Aku tidak peduli. Aku paling bahagia sedunia. Aku sembuh dari kesakitan yang tidak semua orang bisa.
Sekali waktu kutemukan dirimu berdiri di ujung hari. Saat pukul enam petang melebarkan senyumnya sebagai tanda kita segera mulai bertukar cerita. Sementara bola kuning di langit baratku memilih turun ke pelukan tanah sebelah, bola-bola kuning lain berlompatan keluar dari kotak kecil bagian kiri layarku. Aku sama seperti bola-bola kuning itu ; girang ketika mendapatimu disitu.

Bicara Cinta

1
| Jumat, 20 Mei 2011
“Kau tidak mencintaiku,” keluhnya suatu hari. Cangkir teh yang biasanya setelah dikecup  akan menimbulkan suara “tring” ketika diletakkan, kali ini beradu dengan tatakan porselen bernada “prang !”. Bercak-bercak merah merekah di taplak putih.
Kumainkan keempat jari kananku, berdansa di meja dengan irama “tak tik tak tuk...tak tik tak tuk”. Dia bangkit berdiri, kursinya menjerit “sriiiiiit” saking kaget. Jemariku berhenti berdansa. Mataku awas. Telingaku waspada pada setiap suara-suara yang sudah ku reka-reka akan bernada seperti apa. Mungkin akan ada deretan kalimat meremehkan bahwa aku tak sama genit dengan kekasih kawannya yang mengganggu di jam-jam sibuk dengan sms-sms berupa ungkapan rindu. Barangkali dia akan membandingkanku tak semesra istri kawannya yang penuh energi memposting status-status cinta.

Sayur Santan Labu, Sandi Mama Untuk Rindu

0
| Senin, 16 Mei 2011
Perempuan paling angkuh pertama yang kukenal. Jarang memberi pujian. Kerjanya membanding-bandingkan.  Melecutkan protes dengan cara yang sangat membekas di tubuh dan di hati.
“Aih, dapat sembilan ji ? I Baya tawwa dapat sepuluh” katanya mencemooh. Kuraih kembali kertas ulangan matematika yang tadinya kupikir bisa membuatnya bangga.
“Rangking dua ji. Dikalah sama Nining. Lebih bagus dia angka bahasa Indonesianya jadi rangking satu rapornya” komentarnya sambil meneliti angka-angkaku. Senyumku makin surut makin padam.

Minta Jimat, Yah

2
| Rabu, 11 Mei 2011
Dear Ayah...
Pasti sudah bangun di sana. Tak akan kuganggu ritual subuh Ayah dengan dering telepon, meski aku rindu suara lelaki pengumandang adzan yang syahdu. Selalu jadi yang pertama terjaga dari seisi rumah. Kuingat dulu Ayah sering membangunkanku sholat subuh. Tidak pernah kasar. “Bangun subuh, Nak. Biar jadi orang besar” kata Ayah. Meski mata berat, aku tidak pernah bisa menolak jika dibangunkan dengan kecupan.
Ayah, sudah sarapan ? Mama bikin kue apa pagi ini ? Atau jangan-jangan Mama tidak di rumah, seperti beberapa kali terjadi, hingga Ayah terpaksa akrab dengan  sarapan songkolo’ samping mesjid ? Ah,  aku heran kenapa Ayah tidak pernah terlihat benar-benar protes. Suami-suami lain tentu sudah marah jika diperlakukan seperti itu. Tapi aku tahu, Ayahku adalah pencinta paling tangguh. Ayah paling mengerti kalau Mama harus selalu jadi trainer abadi buat kakak-kakakku yang berlomba-lomba memberi kalian cucu. Ya, kan, Yah ?!

"Hey.."

0
| Selasa, 10 Mei 2011
“Hey..” sapanya. Kuberi senyum saja. Aku tidak tahu siapa dia. Kenapa harus kujawab “hey”nya?

“Hey” sapanya lagi. Belum bosan rupanya. Kuberi tampilan gigi sebaris. Entah kenapa. Mungkin agar nampak ramah di matanya. Ah, memang apa untungnya ?

Cerita Yang Tak Mampu Kutulis

0
|
Beberapa kali. Bahkan sering terjadi. Saya kehilangan keinginan untuk bicara kecuali dipaksa. Tapi ada banyak kisah warawiri di kepala. Ah, sebaiknya gambar-gambar ini di abadikan. Berharap suatu hari mereka akan meronta-ronta ingin diceritakan.

Aku Padamu

0
| Sabtu, 07 Mei 2011
Aku padamu adalah kerinduankerinduan
Warnawarna menggoda
Dengan aroma manis yang mencuri senyum tak dikirakira

Aku padamu adalah kebahagiaankebahagiaan
Meski banyak yang tak kukenali maknanya
Bukan masalah selama masih kau yang menimbulkan

Aku padamu adalah kekhawatirankekhawatiran

Badai Pasir

0
| Jumat, 29 April 2011
Waktu itu Ramadhan, sekitar bulan agustus dua tahun lalu. Dinas pagi yang menakjubkan. Hari kamis di Saudi sama seperti hari sabtu di Indonesia. Dokter yang visit cuma satu. Dokter Jawaid Asraf, orang India. Visit dengan dia asyik. Selain baik, dia tidak suka tanya yang aneh-aneh, bukan tukang suruh-suruh bersuara besar seperti dokter lain. Heran, beberapa dari mereka mungkin masih membawa kebiasaan di negeri asalnya: nyuruh-nyuruh perawat. Memangnya kami pesuruh?  Kalau dibalik, kami yang “menyuruh mereka”  untuk meng-input semua data ke komputer, mengisi lengkap semua lembar order sekaligus lembar visit-nya, re-copy daftar obat...mereka juga mengeluh dan marah. Padahal kan itu sudah bagian tugas. Heran. Beberapa dari mereka, termasuk perawat juga sih sebenarnya, mengeluh akan tugasnya. Heran, bukannya sudah pada tahu. Yang lebih aneh lagi, kalau mereka berteriak dan marah. Memangnya yang jadi sasaran kemarahan itu adalah pembuat aturan itu ? Prihatin. Marahnya salah alamat.
Jam tiga sore, menunggu saat-saat endorsement. Lagi tiba-tiba gelap.

Perempuan Penyeduh Teh Italia

2
| Senin, 25 April 2011
Dia diam saat kutolak tawarannya. Aku menunggu. Beberapa detik kemudian dia tertawa.

"Ini cuma segelas teh, kau tidak akan mati dibuatnya"
"...."
"Sudahlah, aku mengerti" lanjutnya karena kudiamkan. Bisa kurasa dia kecewa. Tapi dia terus tertawa. Ah, perempuan ini. Dia menggunakan tawa sebagai topengnya. Dia juga tertawa di beberapa tulisannya. Kendati yang ditulisnya itu tentang nyeri dan luka yang berdarah-darah, dia seperti menuntunku agar tak turut sedih membacanya. Duka yang diparodikan, begitu aku menyebut gaya menulisnya. Ini hebat, dan sejak itu aku rajin menitipkan senyum di ruang-ruang virtualnya.

"Aku ada, meski kita tidak bersua. Percayalah, aku meletakkan mataku pada setiap gerak-gerikmu" lanjutku setelah beberapa saat kami terdiam. "Aku sering menghadapi penolakan dalam hidupku, tidak usahlah menghibur begitu" katanya. Ah, perempuan sok tangguh. Dia pikir aku anak ABG yang tidak paham gaya kalimat begitu. Dia tahu kalau aku tahu, tapi dia menggiringku untuk mengaku bahwa aku tahu. Cerdas.

"Aku mau. Kau harus tahu itu. Tapi aku tidak tahu apa aku mampu". Sial, aku mengaku ! Semakin dia bilang bahwa dia mengerti penolakanku, semakin aku dirundung gelisah. "Apa yang sulit dari acara minum teh ? Aku akan membawa sendiri gelasku, tehku, dan gulaku. Kau cukup menyediakan air panas dan berandamu" , kejarnya lagi. Aku stagnant !

Ijab Qabul

0
|
Ah, dia tampan sekali pagi ini. Dibalut baju merah. Dengan sigarak bertengger anggun di kepalanya. Senyumnya lebar,sesekali menipis, lalu melebar kembali. “Pengantin perempuan duduk saja”, tegur tetua melihat kami yang begitu genit mengintip tamu dari pihak pria yang telah duduk sulengka di ruang tamu. Acara sebentar lagi dimulai.
Aku menahan napasku...

Ini cinta, Bangsat !

0
| Minggu, 24 April 2011
Boleh rindu ?
Dua hari ini kau parade di mataku
Senyummu ada di cangkir
Wajahmu terselip di bantal
Tawamu kudengar di angin, di keran yang tidak kututup rapat, juga di gesekan jariku dengan kertas saat membalik buku

Rindu, sebuah konsekwensi

0
| Sabtu, 23 April 2011
Mengapa waktu tak pernah berpihak kepadaku
Apakah aku terlalu..terlalu banyak berkelana

Mengapa kita masih saja tak pernah bersatu
Selalu saja bertemu bertemu saat kau milik yang lain

Mungkin kau bukanlah jodohku, bukan takdirku
Terus terang...aku merindukanmu
Setengah mati merindu

Malam itu tepat jam tujuh, dan lirik lagu ini menikam tepat pula di pusat jantungku. Di atas pete'-pete' jurusan veteran selatan, aku kembali diserang penyakit rendah diri dan pesimistis, inilah nasibku sebagai lajang yang mencintai kesibukan sebagai tameng dari kesunyian. Seharusnya aku liburan, tapi apa yang kulakukan malam ini di jalanan sendirian ?

Masochist

0
| Jumat, 22 April 2011
“Perempuan jalang. Dasar sun*** !”, bersamaan dengan kalimat itu kurasakan ada yang hangat di pipi kananku. Lima jarinya berbekas disana. Rasanya sama saat ibu menamparku ketika kecil karena perkara uang limaribu yang kubelikan majalah bobo.
Belum bisa kutemukan yang kuinginkan, maka kubiarkan dia mencekikku dan menghantam kepalaku berkali-kali ke tembok kumal rumah yang sudah 3 bulan tak dibayar sewanya. Kembali retetan kalimat didikan setan dia fatwakan ke telingaku, mengalirkan nyeri yang mulai selalu kucari.
“Kau yang bajingan, dasar kau setan ! “
“Eeey, perempuan, mulutmu yang harus sekolahkan !”
“Bangsat, kutahu begitu, aku kawin saja sama penjual tahu itu”
“Jangan..jangan..jangan” seketika dia menangis menjadi-jadi, melucuti semua pakaianku dan melumat semua robekan-robekan kulitku yang berdarah dengan bibirnya. Kali ini kutemukan sensasi yang selalu kugilai.
“Kenapa mereka berhenti ?” tanya perempuan yang baru seminggu tinggal di sebelah kamarku.
“Itu artinya mereka sedang praktek ajaran miyabi”  jawab Ibu Kost sambil berlalu.


 *latihan bikin flash fiction  :)

Labil

0
|
Bukan benci
Apa namanya ?
Mungkin jenuh
Jenuh menunggu

Ingin mati
Tapi takut sepi menggerogoti
Sementara mimpi berteriak-teriak minta diraih

Betapa ku kenal diriku
Dalam wujud yang berganti-ganti


*puisi lama, diedit kembali

Hujan Yang Meloncat

0
|
 “Masih ada sisa indomie mu ?”
“Ada, tapi satu mami”
“Biarmi, kita kasih banyak-banyak airnya. Nanti saya yang beli telur”
Itu rencana makan siang kami. Dua siswi miskin yang nekad sekolah perawat di kota dengan uang mingguan yang sekarat. Kami melintasi lorong samping sekolah sambil menghirup dalam-dalam aroma bakso dan pangsit yang selalu dipadati siswa-siswa lain yang punya jatah jajan berlebih. Pernah kami cicipi, sesekali, tapi tidak sesering yang lain. Menghirup aromanya saja sudah cukup menggiurkan untuk makan siang nanti. Lapar memang bumbu paling sedap.
“Besok kita beli indomie trus kita siram pake air pangsit deh” usulku pada Umy setelah membereskan makan siang kami. “Iyo, beliki juga baksonya seribu” lanjutnya.

Kubunuh kau, Judika !

0
| Senin, 18 April 2011
Remuk ! Mungkin gara-gara tidur sehabis magriban, jadilah mimpi sedih mampir di bantalku malam ini. Bosan di ranjang karena masih disuruh istirahat, Kompasiana jadi pilihan pertama untuk kubuka. Sayang, tidak banyak yang menggoda untuk dibaca. Mungkin karena layar Nokia 5800 tidak cukup memuaskan lapang pandangku, ah padahal sudah segitu lebarnya. Lalu pindah ke facebook, kutemukan pesan diinbox berisi hasil editan puisi-puisiku. Remuk lagi ! Editor mengganti bahkan menyunat kata-kata yang kusuka. Hiks.
Kulirik laptop, ah, nanti sajalah. Kalau online sekarang, pasti dimarahi. Ketahuan online akan mengundang banyak ceremah panjang J
Tersesatlah di Youtube. Liat Judika. Ah, remuk lagi. Lebih remuk lagi dari sebelumnya.  Laki-laki ini selalu bisa membuat aku lebur dalam tune-tune suaranya.

Hachiko dan Blacky. Tentang resensi dan pengalaman pribadi

0
| Sabtu, 02 April 2011

Saya suka film. Bagiku sebuah film mirip sebuah buku. Membuatku pindah dari satu dimensi ke dimensi lain. Maaf kalau masih lebih suka film barat daripada film lokal. Ini bukan soal nasionalisme, tapi soal kualitas. Film keluarga yang sedih, tapi tidak banyak adegan meraung-raung banjir air mata, apalagi makian overacting khas sinetron-sinetron Mamaku di rumah. Hanya saja entah kenapa air mata bisa mengalir diam-diam, hidung jadi mampet karena ternyata air mata itu kemudian disusul ingus. Ah kenapa sih kalau kita menangis mesti ingusan ? Lalu saya sempat tertegun lama, dan menghabiskan SR 100 hanya untuk menyampaikan pada ayah bahwa saya menangis gara-gara sebuah film. Akhirnya film itu ku download dengan semangat berapi-api. Sambil berpikir bagaimana caranya menambahkan text bahasa Indonesia di dalamnya supaya ayah juga bisa menontonnya. Tapi, ah, nanti sajalah kucari tahu. Yang penting download dulu.
Ini tentang anjing kecil yang tersesat di stasiun kereta dan ditemukan oleh seorang professor. Sang professor terpaksa membawanya pulang ke rumah karena tidak ada satupun orang yang mau menampungnya sementara cuaca sedang dingin sekali.

Lentera di wajahmu

4
| Jumat, 01 April 2011
Yang kutahu Mr. Shaker memang suka tersenyum. Bahkan dalan kondisi ruangan yang crowded sekalipun, dia masih bisa mengontrol dirinya untuk tetap bicara sopan. Intonasi bisa kuat, karena situasi juga menuntut kita untuk berteriak. Tapi dia satu dari sedikit orang yag kukenal yang mampu untuk tetap mengontrol kalimatnya dalam keadaan paling buruk sekalipun.
Mr. Shaker adalah nama kepala ruanganku yang baru. Setengah bulan lalu aku di transfer dari departemen bedah syaraf untuk cross traininng ke departemen gawat darurat. Jangan tanya bagaimana perasaanku. Hampir dua tahun kesempatan ini selalu kutunggu. Dari dulu, bekerja di bagian gawat darurat selalu menjadi favoritku. Situasi tak terduga, banyak cerita, tingkat mobilitas yang tinggi, sampai tak jarang kami harus berlari, itu membuat aku merasa hidup. Yah, aku merasa hidup di antara orang-orang yang datang meminta bantuan agar bisa terus bertahan hidup

Kapurung dan Sabitha

2
|
"Tell me about your favorit food" tanya Sabitha, temanku, suatu hari saat kami sedang santai di pantry. Suasana ruangan sedang sepi saat itu berhubung hari kamis. Kamis disini ibarat sabtu di tanah air. Akhir pekan orang lebih tertarik bermanja-manja ke taman dari pada merengek-rengek di rumah sakit :)

Dia tertawa saat kubilang aku bisa makan apa saja asal bisa kutelan dan kukunyah. Memang kenyataannya seperti itu. Sejal kecil aku diajari makan apa saja yang tersedia. Saat kuliah yang paling parah, aku pernah makan makanan basi setelah dimasak kembali. Dia makin tertawa, mungkin dikiranya aku berbohong. Ah, kau tak tahu saja kawan, aku bahkan pernah makan daun-daun saja saat kelaparan di tengah hutan.

"Okey, tell me about your favorite food" tanyanya lagi. Rupanya gadis India ini punya banyak waktu mendengar kisahku. "Okey, i love traditional food, and its delicious. Don't blame me if you feel hungry after this". Dia menggoyang-goyangkan kepalanya kekiri dan ke kanan, pertanda sepakat.

Kuputuskan untuk menceritakan tentang Kapurung dan Sara'ba padanya. Selain karena memang keduanya kegemaranku, aku siap jika dia kelak tergoda dan aku ditodong untuk membuatnya.

"Kepyuranje' ?" , aku tersedak mendengar dia membaca tulisanku. Bisa-bisanya dia mengubah namanya menjadi merk India begitu. "No. Ka...pu...rung " tuntunku dengan serius memonyong-monyongkan mulutku. Dua tiga kali dia mencoba, dan berhasil. Lalu dia memintaku menceritakan seperti apa kedua makanan itu.

Lalu kujelaskan bahwa Kapurung adalah sejenis sup yang mengenyangkan, makanan khas daerah Palopo, satu kabupaten yang masih satu pulau denganku. Isinya macam-macam sayuran, ikan, kadang ayam, juga udang, berkuah, dengan bumbu-bumbu segar dan tentu saja hangat. Kukatakan, bahwa kalau kau memakannya saat sedih, kesedihanmu akan hilang, kalau kau makan saat kau senang, makan kesenanganmu akan makin bertambah. Matanya yang cantik itu berbinar. "Really ? ", kuanggukkan cepat, aku memang tidak tengah berbohong karena itu yang kurasakan.

Kulanjutkan dengan Sara'ba'. Minuman hangat yang perkasa mengusir dingin dan letih. Sedikit hiperbola saat kubilang bahwa ada daya listrik setiap kali meneguknya. "How come ?" ekspresinya kali ini lebih norak dari sebelumnya. Aku tertawa saja.

Dan hal yang kuprediksi benar terjadi. Dia memintaku membuatnya. Untuk sara'ba', kutolak saja karena aku belum pernah menemukan bahan-bahannya di negeri ini. Mungkin ada di pasar tradisional, tapi aku belum pernah punya kesempatan mencarinya. Tapi kalau kapurung, aku bisa membuatnya dengan bahan-bahan yang ada di kulkas. Masih ada sisa tepung sagu dilemari yang sempat kubawa dulu.

Malam itu kami duduk di atap apartemenku, dia datang berkunjung dan membawa keripik pisang kering dari India. Dua mangkok besar kapurung ikan ada di hadapan kami yang duduk sulengka di atas tikar jerami buatan Cina.

Sebelum makan kulihat dia menyatukan kedua tangannya, sepertinya berdoa. Adegan ini biasa kutonton di TV. Mungkin dia berdoa agar tidak mati setelah memakannya. Dan dia mencicipinya, nampak terkejut, lalu diam. Sejenak aku diserang harga diri rendah. Pastilah rasanya buruk, beda dari yang kugembar-gemborkan. Tapi dia melanjutkan ke sendok kedua, ketiga, dan masih diam. Ah, mungkin hanya sebagai penghargaan saja karena aku telah memasak untuknya hingga bersusah payah menghabiskannya.

"Sorry, i'm bad in cooking" kataku menyesal. Dia menggeleng, kudengar dia menarik napas dan mengusap hidungnya yang berair. "It's hot ! " serunya dan membuat suasana berubah. Aku tergelak melihat dia mengipas-ngipas lidahnya. "But really i like it ! " katanya lagi sambil melanjutkan suapan keempat, kelima, keenam, sampai kapurung itu habis dan mangkoknya benar-benar kering.

Aku terus tertawa saat dia dengan penuh ekspresi menceritakan rasa makanan yang baru saja dia cicipi. Tentu dengan gaya meniup-niup karena kepedasan. Kuiyakan saja saat dia bertanya apa ku memasukkan kacang, bawang, juga beberapa cabe ke dalam kapurung itu. Katanya dia senang dengan bola-bola tepung lembut yang dia temukan, juga rasa ikan yang diselimuti bumbu. Kurasa ia memujiku berlebihan. Padahal menurutku, kapurung ini biasa saja, masih lebih hebat kapurung langgananku di jl. cedrawasih di makassar sana. Tapi dia bicara sambil menggerak-gerakkan leher dan  kepalanya, itu pertanda dia tulus adanya.

Kemudian dia mulai bercerita tentang dirinya, keluarganya, juga alasan kenapa dia datang ke negeri ini. Juga tentang dauri, mas kawin yang harus disiapkan seorang perempuan India jika ingin menikah. Aku tahu ini sebelumnya dari film, tapi saat kudengar langsung darinya, entah kenapa aku disusupi rasa kagum. Ah, sejenak kulirih hidung mancungnya, juga ukuran dadanya yang lebih besar dari punyaku. "Kalau kau di negaraku, laki-laki akan membayar mahal untuk bisa menikahimu" kataku membuat senyumnya mengembang. "Kau tahu, Nur, kau benar tentang makanan ini. Setelah memakannya kesedihanku hilang, dan aku merasa senang. Ini pertama kalinya aku mencicipi makanan Indonesia. Dan aku yakin, semua orang Indonesia berhati baik sepertimu".

Ternyata sebuah makanan bisa memberikan kesan yang begitu berarti pada seseorang. Sampai-sampai memberi pendapat yang berlebihan menurutku. Tapi aku senang, setidaknya aku berhasil menjadi duta Indonesia malam itu. Setidaknya karena masakanku, satu orang India telah percaya bahwa orang Indonesia itu baik semua. Semoga tidak akan ada yang mengubah anggapannya.

What a sweet friendship :)


Nuri dan Sabitha



Aku seorang penulis

1
| Kamis, 31 Maret 2011
Ada teman yang mengabarkan tentang lomba menulis flash fiction.Katanya kalau menang, bisa dapat banyak buku dari penerbit Leutika Pro dan karyanya akan disisipkan di buku Tulisan Di Atas Pasir-nya Mas Robin Wijaya. Semangatku terjentik sebentar lalu kembali tengkurap. Deadlinenya hari ini, tinggal beberapa jam lagi. Disini baru jam 10 pagi, berarti di Indonesia sudah jam 2 siang. Tersisa 10 jam untuk menulis.

"Ayo, masih bisa"
"Iya, 10 jam itu bukan waktu yang sempit kok, cuma 300 - 400 kata saja"

Beeegh, itu sih kalimat-kalimat motivasi yang lebih cocok dialamatkan kepada para penulis, mereka yang sudah fasih menulis dan hapal betulan trik menulis singkat tapi sarat makna model flash fiction.Mereka kaya diksi, mampu memainkan kata dan menyutradarai drama imajinasi. Kagum juga pada beberapa teman yang bisa langsung menulis saat jarinya menyentuh keyboard. Sementara aku, lebih suka membaca saja hasil tulisan mereka sambil melepas lelah sepulang kerja.

Terkesan malas ya ? Tidak sepenuhnya benar. Aku sebenarnya juga seorang penulis, tapi bukan karya sastra. Aku adalah penulis kejadian nyata yang besar kekuatan hukumnya. Aku menulis setiap hari, dalam bahasa inggris pula. Tulisanku itu dibaca banyak orang, dan bisa langsung dibuktikan kebenarannya. Bahkan bisa dijadikan bahan rujukan. Salah menuliskannya bisa berakibat fatal. Maka dari itu, sejelek apapun tulisanku, tidak akan ada yang boleh membubuhkan tinta putih tipe X di atasnya. Nama kegiatan rutinku itu adalah charting on nurses note. :)

Menarik, tintanya warna warni sesuai waktu menuliskan catatan itu. Jika aku menulisnya pagi hari dari pukul 7 sampai pukul 3 sore, tintanya berwarna hitam atau biru. Lalu sore pukul 3 sampai pukul 11 malam, tinta hijau menjadi warna dominan. Dan malamnya, antara pukul 11 sampai pukul 7 pagi, lembaran-lembaran kertas itu akan dipenuhi tulisan dengan tinta merah. Cantik sekali kelihatannya.
Setiap akhir kalimat kububuhi tanda tanganku, ah, betapa pentingnya tanda tanganku disini. Juga tiap kali ada ruang kosong di akhir tulisan, mutlak kuberi garis mendatar sampai menyentuh ujung kolom agar tidak ada yang menambahkan kalimat lain di belakang tulisanku. Lihat, betapa aku dituntut sangat berhati-hati menjaga keorisinilan karyaku.

coba tebak tulisan tangan Nuri yang mana :P


Satu lagi, selesai kutuliskan, tulisanku itu bisa langsung kupentaskan. Sesekali aku merasa seperti W.S Rendra yang membacakan sendiri puisinya di panggung, para penontonku menyimak dengan serius. Tak jarang pula aku menjelma menjadi Tina Talisa, penyiar TV One, dengan bertutur seakan-akan berita yang aku sampaikan ini adalah yang teraktual adanya. ^_^.

Jangan salah, aku juga punya deadline. Sempit malah, cuma 8 jam untuk menuliskan semua kejadian nyata dan tidak boleh ada kesalahan atau rekayasa di dalamnya. Dan semua kejadian itu mesti kulakukan sendiri, atau paling tidak kusaksikan langsung dengan dua mata kecilku yang kata orang mirip Cina ini. Sesekali aku melakukan kesalahan penulisan, tapi tak bisa sekejap mata kuhilangkan. Aku dituntut untuk berani bertanggungjawab dengan mencoretnya, tapi tetap bisa di baca, dan harus kusisipkan pertanyaan mistake entry sebagai sikap gentle bahwa aku mengaku aku pernah salah.

Sedikit flash back saat masih mengabdi di rumah sakit tipe C di tanah air. Sekitar beberapa tahun silam, lembar kuning catatan perawat di setiap file pasien hanya berisi sedikit sekali tulisan. Kebanyakan hanya singkatan, juga tanda checklist. Tidak ada perbedaan signifikan dalam catatan pergantian shift. Memang disediakan beberapa format baku yang katanya bisa menghemat waktu. Cukup centang kolomnya, lalu sudah. Semua kejadian tentang semua pasien dituliskan di satu buku saja, yang sekaligus berfungsi sebagai media operan ke perawat jaga selanjutnya. Mungkin ini salah satu sebabnya, kenapa tidak banyak perawat Indonesia yang berani bicara di depan umum. Kemampuan verbal mereka tidak diasah. Datang hanya melakukan tindakan rutin, dengan komunikasi seperlunya saja. Juga takut sekali membubuhkan nama dan tanda tangannya. Dan jika ditanya tentang perkembangan pasien, mereka bilang datang besok pagi saja dan bicara langsung pada doker. Pantas saja kalau profesi kita masih dipandang sebelah mata di sana. Perawat tidak lebih dari sekedar mesin pekerja.

Memang kegiatan menulis ini sungguh melelahkan, awalnya juga aku bilang ini sungguh tidak praktis. Namun ternyata, manfaatnya besar. Selain kuat sebagai bukti hukum, tulisan-tulisan ini bisa berfungsi besar untuk mencegah dari malpraktek. Karena jelas sekali dituliskan jam berapa cairan akan habis, kapan jarum infus mesti diganti, kemajuan-kemajuan pasien yang menggembirakan, dan banyak lagi. Tak jarang disisipkan sebuah kisah pendek yang menceritakan alasan kenapa sebuah antibiotik dihentikan atau bahkan dinaikkan dosisnya. Atau tentang sejawat yang berhasil menemukan metode merayu paling mutakhir agar pasien menjadi kooperatif atas tindakan perawatan. Tentu saja ini akan membuat para perawat yang melanjutkan jam jaga akan mampu memberikan hal yang sama baiknya, bahkan lebih baik lagi dari shift sebelumnya. Ini letak kekuatan yang paling kusuka. Kami saling membantu, karena kesembuhan pasien adalah keberhasilan bersama.

Sungguh, di antara letihku berlarian dengan waktu, dimana tenaga fisik dan isi kepalaku diperas-peras seperti cucian selama 8 jam, aku hanya mengeluh pada bantal. Aku tidak pernah menangis karena letih atau lapar. Sejak dulu kan sudah terbiasa begitu. Lagi pula, aku mencandu hari-hariku yang selalu diwarnai sentakan-sentakan kejadian yang mengejutkan, dan bisa langsung kuberitakan.

Aku senang menjadi penikmat karya-karya sastra, apalagi mengenal siapa penulisnya. Sambil sesekali berpikir, bagaiman jika suatu hari kusodorkan tulisanku pada mereka, aku yakin akan butuh waktu bagi mereka untuk memberi tanggapan manis setelah membacanya :)

Keep writing, Nurse !

Doa di rantau

0
| Rabu, 30 Maret 2011

"Tuhan, pertemukanlah aku dengan orang-orang yang baik"
Itu doaku saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah sakit besar yang akan menjadi tempat kerjaku. Wajah-wajah asing yang sebelumnya hanya kulihat di layar televisi, kini menjelma nyata. Bahkan aku bisa berinteraksi dengan mereka ! Tidak sia-sia dulu aku menghabiskan akhir pekan membantu Mama jualan kentang saat subuh. Hiruk piruk pasar terminal Sungguminasa jam 3 pagi telah akrab denganku. Aku pernah tenggelam di lautan sayur-mayur, bersandar di gunungan karung bawang merah, juga menyambut matahari terbit dengan senyum tujuh ribu rupiah di tangan. Aku tidak punya bakat dagang, kemampuan menghitungku juga tidak bisa dibilang fantastis. Aku memilih jadi asisten Mama karena begitu sangat tergoda oleh promosi kursus bahasa Inggris yang mampir ke sekolahku suatu siang. Melihat seorang perempuan berwajah seperti orang kebanyakan namun mampu berbicara seperti Laura (salah satu tokoh drama Little House In Praire di TVRI dulu), membuat aku mendadak ingin juga sepertinya. Tidak satupun dari ketiga saudaraku yang berani meminta kursus sejenis itu. Selain mahal, jarak tempuhnya juga cukup jauh. Dan Ayahku, gemar membakarku dengan tantangan setiap kali kuajukan sebuah permintaan yang mengejutkan.


"Good Morning, this is Sister Nur from Indonesia. Today she just doing orientation, then tomorrow she will start her first duty". Aku memasang senyum terbaik yang kumampu saat pendampingku memperkenalkanku pada seorang perempuan tua yang sibuk dengan kertas-kertas di tangannya. Singkat saja dia mengucapkan selamat datang. Lalu kembali melanjutkan kesibukannya. Baru lima menit di tempat itu, kudengar dia telah bicara dalam tiga bahasa yang berbeda. Tentunya dia bukan orang biasa. Kekecewaanku karena tak terlalu disambut dengan basa-basi panjang khas Indonesia, menguap saja ketika kulihat dia nampak serius berdiskusi dengan beberapa dokter di sekelilingnya. Amazing !

Belakangan aku mengenal beliau bernama Antonia G Balila, seorang perawat senior sekaligus kepala ruangan tempat aku ditugaskan. Kebangsaan Philipina. Beliau telah menghabiskan lebih dari 30 tahun di negeri pasir ini. Angka yang fantastis sekali. Apa yang membuatnya betah ? Nyaris tidak ada yang tidak mengenal beliau. Bahkan para petinggi-petinggi keperawatan yang sempat kuajak berbincang mengaku pernah dibimbing oleh beliau saat masih berstatus mahasiswa. Usianya sungguh tak lagi muda, namun tetap lincah. Beliau lebih memilih tetap berinteraksi langsung dengan pasien di perawatan ketimbang duduk di bagian struktural berkutat dengan benda-benda tak bernyawa.
Beliau kami sapa Mama Toniette
Lalu kudapati Daisy Joseph. Perawat India yang senyumnya membuatku merasa dekat dari rumah. Dia tidak begitu banyak bicara, namun gerakannya gesit dan tenaganya kuat sekali. Pasien dengan berat badan sampai 100 kilogram yang terbaring pasrah, mampu di tahannya. Tentu tidak dengan tenaga saja, dia punya teknik cerdasnya. Beberapa kali aku dibuat terngaga saat melihat dia memecahkan formulasi dosis obat hanya dengan mengentuk-ngetukkan ujung jarinya beberapa kali di pipi kirinya. Ini cara menghitung paling cantik yang pernah kulihat, juga cepat tentu saja.

Daisy Joseph
Ada Animy Azul, perawat bertubuh semut namun keberanian sebesar gajah. Blasteran Cina dan Philiphina ini adalah sungguh imut sekali. Nampak seperti anak SMP saja. Namun siapa sangka, dia lulusan terbaik dan dia Registered Nurse ! Membayangkan soal-soal latihan NCLEX saja aku sudah mual, bagaimana dia bisa menaklukkan soal ratusan nomor, yang kesemuanya tertulis dalam bahasa Inggris itu? Dia pandai menghidupkan suasana menjadi ceria. Namun jika ada yang sok menjadi boss dan dinilainya salah, Animy tidak gentar mendebatnya. Aku gemetar melihat dia suatu malam bertengkar dengan seorang resident. Animy tidak peduli profesi orang yang dihadapinya, dia memegang teguh keyakinannya bekerja sesuai job describtion, dan tidak sungkan berhadapan sampai ke ruang sidang.


Animy Azul
Sungguh, Tuhan memberiku ekstra dari doa yang kusodorkan. Mereka tidak hanya baik, tapi juga kuat, cerdas dan berani. Baru sedikit perawat Indonesia yang kukenal dengan profil seperti ini. Dengan berada di antara orang-orang seperti mereka, aku sempat merasa seperti rumput di antara bunga-bunga. Namun sungguh di luar dugaan, sekalipun tidak pernah kutangkap kesombongan dari mereka apalagi menganggap remeh anak baru sepertiku. Mereka hangat, membuat aku merasa diterima. Sungguh, aku begitu ingin tumbuh menjadi seperti mereka. Kupikir begitulah seharusnya profil semua perawat di dunia. Tidak cukup dengan menjadi cantik dan lembut, kau juga harus cerdas, kuat, serta berani. Karena rumah sakit sesungguhnya adalah sebuah dunia yang berisi kejadian-kejadian tak terduga. Dan kau harus tahu kapan harus menggunakan senyummu dan kapan harus memuntahkan isi kepalamu.


Teringat peristiwa chatting di sebuah grup facebook dulu, saat temanku bilang tidak tertarik keluar negeri untuk sekedar melihat bagaimana hebatnya perawat dunia luar itu. "Kan bisa baca di buku dan liat di TV" katanya. Tak kudebat lagi setelah mahfum bahwa dia baru saja lulus seleksi calon pegawai negeri. Pastilah dia lebih bangga dengan deretan NIP nya itu. Saat ini ingin sekali ku katakan padanya, 
"Aku lebih memilih mencicipi langsung rasanya ketimbang diceritakan meski dengan semua detail-detailnya".


Proud to be a nurse  ^_^

Pohon besar di dalam bulan

0
| Selasa, 29 Maret 2011
"Itu apa, ayah ?"
"Yang mana ? "
"Yang hitam-hitam itu di dalam bulan"
"Oh, itu pohon asam"
"Pohon asam ? Besar sekali ! Siapa yang tanam ?"
"Tuhan"
"Wuaah..."


Ayah mengusap kepalaku, sementara aku ternganga sambil membayangkan betapa serunya jika bisa membuat ayunan di dahannya. Dulu kami pernah pohon waru besar di depan rumah, namun pelan-pelan mengecil karena ditebangi. Ibu membutuhkan kayunya untuk memasak burasa' setiap kali lebaran, juga saat masa paceklik sebagai pengganti minyak tanah. Dan saat tetanggaku hendak melakukan aqiqah buat anaknya, keluarga kami menyumbangkan seluruh pohon waru itu untuk meringankan biaya bahan bakar untuk memasak makanan hajatan. Aku sedih, tapi Ayah bilang pohon itu senang bila dia bisa berguna bagi banyak orang.


"Kamu mau pohon itu ?" pertanyaan Ayah kujawab dengan anggukan cepat dan mantap. Ayah mengangkat dan mendudukkanku di tepi pagar paladang. Tangannya tetap menyangga ketiakku menjaga agar tidak jatuh dari rumah tradisional kami yang tegak berdiri 2 meter dari permukaan tanah. Aku jadi bebas menggapai-gapaikan tanganku ke arah bulan, hendak menjangkau daun-daunnya yang nampak memenuhi hampir separuh lingkaran."Pohon besar itu nanti akan turun dari bulan", kata Ayah kemudian. Kutatap Ayah, berharap ada kesungguhan dari kata-katanya. Lama aku tak main ayunan. Halaman kami menjadi sepi karena tidak ada lagi permainan menemukan sarang burung. Dulu kami sangat takjub jika menemukan sebuah sarang, meskipun tidak ada apa-apa di dalamnya.

Kura-Kura & Kelinci

0
| Minggu, 27 Maret 2011
dalam lomba lari, aku bukan kelinci...
Aku kura-kura, hanya ingin sampai..



















seorang abang pernah berkata; Petualang tidak pernah melihat matahari pagi dari tempat yang sama..
Makassar, Gizan, London,  

 

Copyright © 2010 Nuri Note - Nuri Note - by Nuri Nura