Jejak Jejak di Jalan

Jejak Jejak di Jalan

Senja dan Nura

| Rabu, 25 Mei 2011

senja di jalur Sabiah. Nuri's pic.2011

Senja datang jam berapa?
Tanyamu tak sempat kutimpali jawab. Mataku masih protes pada telinga yang begitu peka pada alarm yang entah kenapa diset terlalu dini. Kau masih menunggu tapi aku sibuk mendongkrak semangatku untuk bangkit dan mandi. Ah, seandainya ada cara lain memulai ritual hari selain mandi. Aku tak biasa berlama-lama di gelembung sabun yang wangi. Lagipula kau bertanya terlalu pagi.
Senja datang jam berapa?
Tanyamu tak sempat kutimpali jawab. Ada belasan buku yang harus kubaca. Tebal-tebal pula. Bukan inginku, tapi sungguh itu perlu. Jika saja kau bisa mendengar suaranya memanggil-manggil untuk dibuka. Yang paling menjengkelkan ketika otakku buntu saat tersesat dalam ruang masalah yang kuncinya belum pernah kujamah. Padahal lembaran di lembaran buku itu semua tertera. Jadi ini penting. Lebih penting dari senja.
Senja datang jam berapa?
Kau mau makan jeruk ? Bahkan sarapanku pun pasti ada jeruk. Dengar perutku sudah dari tadi merajuk. Lagipula aku kapok menerima para pembesuk yang berhahahihi saat menjenguk. Saat sakit tidak pernah ada yang kelihatan cantik. Jadi sebaiknya simpan dulu tanyamu, aku tengah menikmati denting piring dan sendok.
Senja datang jam berapa?
Come on! Aku sudah hampir terlambat, dan kau masih saja sibuk dengan pertanyaan serupa. Kenapa tak ikut saja ? Mari berlari melintasi taman dengan jejeran pohon kurma dan bunga-bunga. Senyum dan bermuka manislah jika ada yang menyapa. Tujuh menit saja, sumpah demi pulpen tiga warna yang bertahun-tahun kujadikan senjata, kau tidak akan mati dibuatnya.
Senja datang jam berapa?
Tanyamu tak sempat kutimpali jawab. Aku sibuk menyimak laporan kejadian semalam. Ada yang demam disini, ada yg muntah di sana. Ada yang mogok jantungnya, ada yang ngambek napasnya. Ah, seandainya ada yang mengabarkan padaku hari ini tentang film romantis atau tentang senyum seorang lelaki kecil di sebuah taman, atau barangkali tentang toko baju yang sedang banting harga. Lagi pula kau bertanya saat aku tengah sibuk bekerja.
Senja datang jam berapa?
Diamlah. Tanyamu takkan kutimpali jawab. Aku sibuk menginterpretasi angka-angka di hadapanku. Ah, kenapa aku mesti cemas soal potasium dan sodium yang bukan punyaku? Itu kan salah dia, siapa suruh tidak mau makan, siapa suruh kebut-kebutan di jalan? Apa sih masalah mereka? Apa karena bosan hidup serba ada jadi mereka hendak coba-coba menderita? Sekarang posisi otaknya bergeser, beringsut hendak beranjak. Atau barangkali jaman sekarang kualitas batok kepala telah menurun, jadi semakin rapuh menjaga benda lembut nan mahaguna di dalamnya. Ah, lagipula kau tanyakan senja saat aku tengah sibuk dengan tetek bengek saraf dan pembedahannya.
Senja datang jam berapa?
Tak bisakah kau diam? Tanyamu takkan kutimpali jawab. Lihat, aku tengah memberikan penjelasan. Susah payah semua hal kutuliskan, kemudian kulaporkan, jadi sebaiknya kau diam. Banyak kisah penting yang mesti kuhantarkan. Tentang  nyawa si Ini yang tadi iseng keluar beberapa menit.  Soal darah si Itu yang nakal merembes ke perut. Juga permasalahan gumpalan kecil di frontal kepala si Anu yang membuat dia tidak berhenti berteriak dengan kata-kata yang sepertinya hanya dipelajari di kebun binatang. Lebih penting kuceritakan kenapa aku terpaksa mematahkan ampul-ampul diazepam dan menyisipkan isinya ke dalam vena. Semua tengah menunggu alasan kenapa si Itu ditampar bertubi-tubi dengan antibiotik raksasa. Jadi, sebaiknya kau diam saja, tangan tanya-tanya terus soal senja.
Senja datang jam berapa?
Ah, kau rupanya tak juga menyerah. Itu buruk, mate. Lihatlah, aku lelah. Terhuyung-huyung dan berharap ada yang mau memapah. Kau tahu kan bedanya tired dengan exhausted? Lagi pula kenapa kau terus bertanya padaku tentang senja? Aku tidak pernah menaruh perhatian lebih soal dia akan datang jam berapa. Apa yang kau harapkan dari waktu kedatangan senja? Kadang kupikir itu cuma hasutan penyair kesepian yang mencintai malam sebagai tempat sembunyi. Aslinya, senja cuma adengan singkat perpisahan bumi dengan terang. Hey, kenapa kau tak tanya tentang pagi saja. Mungkin aku punya jawabannya.

 *bener ga sih ini puisi ? :(

0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih atas komentar anda

 

Copyright © 2010 Nuri Note - Nuri Note - by Nuri Nura