Jejak Jejak di Jalan

Jejak Jejak di Jalan

Badai Pasir

0
| Jumat, 29 April 2011
Waktu itu Ramadhan, sekitar bulan agustus dua tahun lalu. Dinas pagi yang menakjubkan. Hari kamis di Saudi sama seperti hari sabtu di Indonesia. Dokter yang visit cuma satu. Dokter Jawaid Asraf, orang India. Visit dengan dia asyik. Selain baik, dia tidak suka tanya yang aneh-aneh, bukan tukang suruh-suruh bersuara besar seperti dokter lain. Heran, beberapa dari mereka mungkin masih membawa kebiasaan di negeri asalnya: nyuruh-nyuruh perawat. Memangnya kami pesuruh?  Kalau dibalik, kami yang “menyuruh mereka”  untuk meng-input semua data ke komputer, mengisi lengkap semua lembar order sekaligus lembar visit-nya, re-copy daftar obat...mereka juga mengeluh dan marah. Padahal kan itu sudah bagian tugas. Heran. Beberapa dari mereka, termasuk perawat juga sih sebenarnya, mengeluh akan tugasnya. Heran, bukannya sudah pada tahu. Yang lebih aneh lagi, kalau mereka berteriak dan marah. Memangnya yang jadi sasaran kemarahan itu adalah pembuat aturan itu ? Prihatin. Marahnya salah alamat.
Jam tiga sore, menunggu saat-saat endorsement. Lagi tiba-tiba gelap.

Perempuan Penyeduh Teh Italia

2
| Senin, 25 April 2011
Dia diam saat kutolak tawarannya. Aku menunggu. Beberapa detik kemudian dia tertawa.

"Ini cuma segelas teh, kau tidak akan mati dibuatnya"
"...."
"Sudahlah, aku mengerti" lanjutnya karena kudiamkan. Bisa kurasa dia kecewa. Tapi dia terus tertawa. Ah, perempuan ini. Dia menggunakan tawa sebagai topengnya. Dia juga tertawa di beberapa tulisannya. Kendati yang ditulisnya itu tentang nyeri dan luka yang berdarah-darah, dia seperti menuntunku agar tak turut sedih membacanya. Duka yang diparodikan, begitu aku menyebut gaya menulisnya. Ini hebat, dan sejak itu aku rajin menitipkan senyum di ruang-ruang virtualnya.

"Aku ada, meski kita tidak bersua. Percayalah, aku meletakkan mataku pada setiap gerak-gerikmu" lanjutku setelah beberapa saat kami terdiam. "Aku sering menghadapi penolakan dalam hidupku, tidak usahlah menghibur begitu" katanya. Ah, perempuan sok tangguh. Dia pikir aku anak ABG yang tidak paham gaya kalimat begitu. Dia tahu kalau aku tahu, tapi dia menggiringku untuk mengaku bahwa aku tahu. Cerdas.

"Aku mau. Kau harus tahu itu. Tapi aku tidak tahu apa aku mampu". Sial, aku mengaku ! Semakin dia bilang bahwa dia mengerti penolakanku, semakin aku dirundung gelisah. "Apa yang sulit dari acara minum teh ? Aku akan membawa sendiri gelasku, tehku, dan gulaku. Kau cukup menyediakan air panas dan berandamu" , kejarnya lagi. Aku stagnant !

Ijab Qabul

0
|
Ah, dia tampan sekali pagi ini. Dibalut baju merah. Dengan sigarak bertengger anggun di kepalanya. Senyumnya lebar,sesekali menipis, lalu melebar kembali. “Pengantin perempuan duduk saja”, tegur tetua melihat kami yang begitu genit mengintip tamu dari pihak pria yang telah duduk sulengka di ruang tamu. Acara sebentar lagi dimulai.
Aku menahan napasku...

Ini cinta, Bangsat !

0
| Minggu, 24 April 2011
Boleh rindu ?
Dua hari ini kau parade di mataku
Senyummu ada di cangkir
Wajahmu terselip di bantal
Tawamu kudengar di angin, di keran yang tidak kututup rapat, juga di gesekan jariku dengan kertas saat membalik buku

Rindu, sebuah konsekwensi

0
| Sabtu, 23 April 2011
Mengapa waktu tak pernah berpihak kepadaku
Apakah aku terlalu..terlalu banyak berkelana

Mengapa kita masih saja tak pernah bersatu
Selalu saja bertemu bertemu saat kau milik yang lain

Mungkin kau bukanlah jodohku, bukan takdirku
Terus terang...aku merindukanmu
Setengah mati merindu

Malam itu tepat jam tujuh, dan lirik lagu ini menikam tepat pula di pusat jantungku. Di atas pete'-pete' jurusan veteran selatan, aku kembali diserang penyakit rendah diri dan pesimistis, inilah nasibku sebagai lajang yang mencintai kesibukan sebagai tameng dari kesunyian. Seharusnya aku liburan, tapi apa yang kulakukan malam ini di jalanan sendirian ?

Masochist

0
| Jumat, 22 April 2011
“Perempuan jalang. Dasar sun*** !”, bersamaan dengan kalimat itu kurasakan ada yang hangat di pipi kananku. Lima jarinya berbekas disana. Rasanya sama saat ibu menamparku ketika kecil karena perkara uang limaribu yang kubelikan majalah bobo.
Belum bisa kutemukan yang kuinginkan, maka kubiarkan dia mencekikku dan menghantam kepalaku berkali-kali ke tembok kumal rumah yang sudah 3 bulan tak dibayar sewanya. Kembali retetan kalimat didikan setan dia fatwakan ke telingaku, mengalirkan nyeri yang mulai selalu kucari.
“Kau yang bajingan, dasar kau setan ! “
“Eeey, perempuan, mulutmu yang harus sekolahkan !”
“Bangsat, kutahu begitu, aku kawin saja sama penjual tahu itu”
“Jangan..jangan..jangan” seketika dia menangis menjadi-jadi, melucuti semua pakaianku dan melumat semua robekan-robekan kulitku yang berdarah dengan bibirnya. Kali ini kutemukan sensasi yang selalu kugilai.
“Kenapa mereka berhenti ?” tanya perempuan yang baru seminggu tinggal di sebelah kamarku.
“Itu artinya mereka sedang praktek ajaran miyabi”  jawab Ibu Kost sambil berlalu.


 *latihan bikin flash fiction  :)

Labil

0
|
Bukan benci
Apa namanya ?
Mungkin jenuh
Jenuh menunggu

Ingin mati
Tapi takut sepi menggerogoti
Sementara mimpi berteriak-teriak minta diraih

Betapa ku kenal diriku
Dalam wujud yang berganti-ganti


*puisi lama, diedit kembali

Hujan Yang Meloncat

0
|
 “Masih ada sisa indomie mu ?”
“Ada, tapi satu mami”
“Biarmi, kita kasih banyak-banyak airnya. Nanti saya yang beli telur”
Itu rencana makan siang kami. Dua siswi miskin yang nekad sekolah perawat di kota dengan uang mingguan yang sekarat. Kami melintasi lorong samping sekolah sambil menghirup dalam-dalam aroma bakso dan pangsit yang selalu dipadati siswa-siswa lain yang punya jatah jajan berlebih. Pernah kami cicipi, sesekali, tapi tidak sesering yang lain. Menghirup aromanya saja sudah cukup menggiurkan untuk makan siang nanti. Lapar memang bumbu paling sedap.
“Besok kita beli indomie trus kita siram pake air pangsit deh” usulku pada Umy setelah membereskan makan siang kami. “Iyo, beliki juga baksonya seribu” lanjutnya.

Kubunuh kau, Judika !

0
| Senin, 18 April 2011
Remuk ! Mungkin gara-gara tidur sehabis magriban, jadilah mimpi sedih mampir di bantalku malam ini. Bosan di ranjang karena masih disuruh istirahat, Kompasiana jadi pilihan pertama untuk kubuka. Sayang, tidak banyak yang menggoda untuk dibaca. Mungkin karena layar Nokia 5800 tidak cukup memuaskan lapang pandangku, ah padahal sudah segitu lebarnya. Lalu pindah ke facebook, kutemukan pesan diinbox berisi hasil editan puisi-puisiku. Remuk lagi ! Editor mengganti bahkan menyunat kata-kata yang kusuka. Hiks.
Kulirik laptop, ah, nanti sajalah. Kalau online sekarang, pasti dimarahi. Ketahuan online akan mengundang banyak ceremah panjang J
Tersesatlah di Youtube. Liat Judika. Ah, remuk lagi. Lebih remuk lagi dari sebelumnya.  Laki-laki ini selalu bisa membuat aku lebur dalam tune-tune suaranya.

Hachiko dan Blacky. Tentang resensi dan pengalaman pribadi

0
| Sabtu, 02 April 2011

Saya suka film. Bagiku sebuah film mirip sebuah buku. Membuatku pindah dari satu dimensi ke dimensi lain. Maaf kalau masih lebih suka film barat daripada film lokal. Ini bukan soal nasionalisme, tapi soal kualitas. Film keluarga yang sedih, tapi tidak banyak adegan meraung-raung banjir air mata, apalagi makian overacting khas sinetron-sinetron Mamaku di rumah. Hanya saja entah kenapa air mata bisa mengalir diam-diam, hidung jadi mampet karena ternyata air mata itu kemudian disusul ingus. Ah kenapa sih kalau kita menangis mesti ingusan ? Lalu saya sempat tertegun lama, dan menghabiskan SR 100 hanya untuk menyampaikan pada ayah bahwa saya menangis gara-gara sebuah film. Akhirnya film itu ku download dengan semangat berapi-api. Sambil berpikir bagaimana caranya menambahkan text bahasa Indonesia di dalamnya supaya ayah juga bisa menontonnya. Tapi, ah, nanti sajalah kucari tahu. Yang penting download dulu.
Ini tentang anjing kecil yang tersesat di stasiun kereta dan ditemukan oleh seorang professor. Sang professor terpaksa membawanya pulang ke rumah karena tidak ada satupun orang yang mau menampungnya sementara cuaca sedang dingin sekali.

Lentera di wajahmu

4
| Jumat, 01 April 2011
Yang kutahu Mr. Shaker memang suka tersenyum. Bahkan dalan kondisi ruangan yang crowded sekalipun, dia masih bisa mengontrol dirinya untuk tetap bicara sopan. Intonasi bisa kuat, karena situasi juga menuntut kita untuk berteriak. Tapi dia satu dari sedikit orang yag kukenal yang mampu untuk tetap mengontrol kalimatnya dalam keadaan paling buruk sekalipun.
Mr. Shaker adalah nama kepala ruanganku yang baru. Setengah bulan lalu aku di transfer dari departemen bedah syaraf untuk cross traininng ke departemen gawat darurat. Jangan tanya bagaimana perasaanku. Hampir dua tahun kesempatan ini selalu kutunggu. Dari dulu, bekerja di bagian gawat darurat selalu menjadi favoritku. Situasi tak terduga, banyak cerita, tingkat mobilitas yang tinggi, sampai tak jarang kami harus berlari, itu membuat aku merasa hidup. Yah, aku merasa hidup di antara orang-orang yang datang meminta bantuan agar bisa terus bertahan hidup

Kapurung dan Sabitha

2
|
"Tell me about your favorit food" tanya Sabitha, temanku, suatu hari saat kami sedang santai di pantry. Suasana ruangan sedang sepi saat itu berhubung hari kamis. Kamis disini ibarat sabtu di tanah air. Akhir pekan orang lebih tertarik bermanja-manja ke taman dari pada merengek-rengek di rumah sakit :)

Dia tertawa saat kubilang aku bisa makan apa saja asal bisa kutelan dan kukunyah. Memang kenyataannya seperti itu. Sejal kecil aku diajari makan apa saja yang tersedia. Saat kuliah yang paling parah, aku pernah makan makanan basi setelah dimasak kembali. Dia makin tertawa, mungkin dikiranya aku berbohong. Ah, kau tak tahu saja kawan, aku bahkan pernah makan daun-daun saja saat kelaparan di tengah hutan.

"Okey, tell me about your favorite food" tanyanya lagi. Rupanya gadis India ini punya banyak waktu mendengar kisahku. "Okey, i love traditional food, and its delicious. Don't blame me if you feel hungry after this". Dia menggoyang-goyangkan kepalanya kekiri dan ke kanan, pertanda sepakat.

Kuputuskan untuk menceritakan tentang Kapurung dan Sara'ba padanya. Selain karena memang keduanya kegemaranku, aku siap jika dia kelak tergoda dan aku ditodong untuk membuatnya.

"Kepyuranje' ?" , aku tersedak mendengar dia membaca tulisanku. Bisa-bisanya dia mengubah namanya menjadi merk India begitu. "No. Ka...pu...rung " tuntunku dengan serius memonyong-monyongkan mulutku. Dua tiga kali dia mencoba, dan berhasil. Lalu dia memintaku menceritakan seperti apa kedua makanan itu.

Lalu kujelaskan bahwa Kapurung adalah sejenis sup yang mengenyangkan, makanan khas daerah Palopo, satu kabupaten yang masih satu pulau denganku. Isinya macam-macam sayuran, ikan, kadang ayam, juga udang, berkuah, dengan bumbu-bumbu segar dan tentu saja hangat. Kukatakan, bahwa kalau kau memakannya saat sedih, kesedihanmu akan hilang, kalau kau makan saat kau senang, makan kesenanganmu akan makin bertambah. Matanya yang cantik itu berbinar. "Really ? ", kuanggukkan cepat, aku memang tidak tengah berbohong karena itu yang kurasakan.

Kulanjutkan dengan Sara'ba'. Minuman hangat yang perkasa mengusir dingin dan letih. Sedikit hiperbola saat kubilang bahwa ada daya listrik setiap kali meneguknya. "How come ?" ekspresinya kali ini lebih norak dari sebelumnya. Aku tertawa saja.

Dan hal yang kuprediksi benar terjadi. Dia memintaku membuatnya. Untuk sara'ba', kutolak saja karena aku belum pernah menemukan bahan-bahannya di negeri ini. Mungkin ada di pasar tradisional, tapi aku belum pernah punya kesempatan mencarinya. Tapi kalau kapurung, aku bisa membuatnya dengan bahan-bahan yang ada di kulkas. Masih ada sisa tepung sagu dilemari yang sempat kubawa dulu.

Malam itu kami duduk di atap apartemenku, dia datang berkunjung dan membawa keripik pisang kering dari India. Dua mangkok besar kapurung ikan ada di hadapan kami yang duduk sulengka di atas tikar jerami buatan Cina.

Sebelum makan kulihat dia menyatukan kedua tangannya, sepertinya berdoa. Adegan ini biasa kutonton di TV. Mungkin dia berdoa agar tidak mati setelah memakannya. Dan dia mencicipinya, nampak terkejut, lalu diam. Sejenak aku diserang harga diri rendah. Pastilah rasanya buruk, beda dari yang kugembar-gemborkan. Tapi dia melanjutkan ke sendok kedua, ketiga, dan masih diam. Ah, mungkin hanya sebagai penghargaan saja karena aku telah memasak untuknya hingga bersusah payah menghabiskannya.

"Sorry, i'm bad in cooking" kataku menyesal. Dia menggeleng, kudengar dia menarik napas dan mengusap hidungnya yang berair. "It's hot ! " serunya dan membuat suasana berubah. Aku tergelak melihat dia mengipas-ngipas lidahnya. "But really i like it ! " katanya lagi sambil melanjutkan suapan keempat, kelima, keenam, sampai kapurung itu habis dan mangkoknya benar-benar kering.

Aku terus tertawa saat dia dengan penuh ekspresi menceritakan rasa makanan yang baru saja dia cicipi. Tentu dengan gaya meniup-niup karena kepedasan. Kuiyakan saja saat dia bertanya apa ku memasukkan kacang, bawang, juga beberapa cabe ke dalam kapurung itu. Katanya dia senang dengan bola-bola tepung lembut yang dia temukan, juga rasa ikan yang diselimuti bumbu. Kurasa ia memujiku berlebihan. Padahal menurutku, kapurung ini biasa saja, masih lebih hebat kapurung langgananku di jl. cedrawasih di makassar sana. Tapi dia bicara sambil menggerak-gerakkan leher dan  kepalanya, itu pertanda dia tulus adanya.

Kemudian dia mulai bercerita tentang dirinya, keluarganya, juga alasan kenapa dia datang ke negeri ini. Juga tentang dauri, mas kawin yang harus disiapkan seorang perempuan India jika ingin menikah. Aku tahu ini sebelumnya dari film, tapi saat kudengar langsung darinya, entah kenapa aku disusupi rasa kagum. Ah, sejenak kulirih hidung mancungnya, juga ukuran dadanya yang lebih besar dari punyaku. "Kalau kau di negaraku, laki-laki akan membayar mahal untuk bisa menikahimu" kataku membuat senyumnya mengembang. "Kau tahu, Nur, kau benar tentang makanan ini. Setelah memakannya kesedihanku hilang, dan aku merasa senang. Ini pertama kalinya aku mencicipi makanan Indonesia. Dan aku yakin, semua orang Indonesia berhati baik sepertimu".

Ternyata sebuah makanan bisa memberikan kesan yang begitu berarti pada seseorang. Sampai-sampai memberi pendapat yang berlebihan menurutku. Tapi aku senang, setidaknya aku berhasil menjadi duta Indonesia malam itu. Setidaknya karena masakanku, satu orang India telah percaya bahwa orang Indonesia itu baik semua. Semoga tidak akan ada yang mengubah anggapannya.

What a sweet friendship :)


Nuri dan Sabitha



 

Copyright © 2010 Nuri Note - Nuri Note - by Nuri Nura