Jejak Jejak di Jalan

Jejak Jejak di Jalan

Pohon besar di dalam bulan

| Selasa, 29 Maret 2011
"Itu apa, ayah ?"
"Yang mana ? "
"Yang hitam-hitam itu di dalam bulan"
"Oh, itu pohon asam"
"Pohon asam ? Besar sekali ! Siapa yang tanam ?"
"Tuhan"
"Wuaah..."


Ayah mengusap kepalaku, sementara aku ternganga sambil membayangkan betapa serunya jika bisa membuat ayunan di dahannya. Dulu kami pernah pohon waru besar di depan rumah, namun pelan-pelan mengecil karena ditebangi. Ibu membutuhkan kayunya untuk memasak burasa' setiap kali lebaran, juga saat masa paceklik sebagai pengganti minyak tanah. Dan saat tetanggaku hendak melakukan aqiqah buat anaknya, keluarga kami menyumbangkan seluruh pohon waru itu untuk meringankan biaya bahan bakar untuk memasak makanan hajatan. Aku sedih, tapi Ayah bilang pohon itu senang bila dia bisa berguna bagi banyak orang.


"Kamu mau pohon itu ?" pertanyaan Ayah kujawab dengan anggukan cepat dan mantap. Ayah mengangkat dan mendudukkanku di tepi pagar paladang. Tangannya tetap menyangga ketiakku menjaga agar tidak jatuh dari rumah tradisional kami yang tegak berdiri 2 meter dari permukaan tanah. Aku jadi bebas menggapai-gapaikan tanganku ke arah bulan, hendak menjangkau daun-daunnya yang nampak memenuhi hampir separuh lingkaran."Pohon besar itu nanti akan turun dari bulan", kata Ayah kemudian. Kutatap Ayah, berharap ada kesungguhan dari kata-katanya. Lama aku tak main ayunan. Halaman kami menjadi sepi karena tidak ada lagi permainan menemukan sarang burung. Dulu kami sangat takjub jika menemukan sebuah sarang, meskipun tidak ada apa-apa di dalamnya.




"Kapan, Yah ?"
"Nanti, kalau kamu sudah punya bijinya"
"Di mana bijinya ?"
"Ada di sekolah"


Pandanganku beralih dari bulan ke arah rumah guruku. Rumah kami dengan rumahnya dipisahkan rawa-rawa dan jembatan bambu. Guruku tinggal di jajaran kompleks perumahan yang terbuat dari semen dan baru, pemukiman orang-orang bermobil dan memiliki kedudukan. Sementara pemukiman kami berada tepat di belakangnya. Pagar rumahnya tinggi dan terbuat dari besi. Dan di halaman samping rumah ibu guru, ada pohon ketapang yang tinggi dilengkapi dengan ayunan yang gantungannya terbuat dari besi. Dalam hati aku yakin, pasti ibu guru mendapatkan biji pohon itu dari gurunya juga.


"Makanya, rajinlah sekolah. Orang pintar itu akan punya banyak pohon nanti, bukan cuma satu" lanjut Ayah. Kembali aku membayangkan akan memenuhi rumah kami dengan aneka pohon-pohon yang tentunya besar dan berdahan. Seperti tahu apa yang sedang kukhayalkan, Ayah kemudian menurunkanku dari pagar paladang. Kami lalu menuju ruang tamu dan Ayah memberiku sebuah buku untuk kubaca. Warnanya cokelat dan terlihat agak tua. Di sampulnya tertulis judul "Garis-Garis Besar Haluan Negara". Ayah selalu menggunakan buku itu untuk mengetes kemampuan membacaku, dan beliau selalu bertepuk tangan setiap kali aku sukses melafalkan kata-kata rumit seperti perikemanusiaan, pengejawantahan, kebijaksanaan, pemerataan, dan sebagainya. Jika kutanya apa artinya, Ayah segera menjawabnya. Dan waktu itu bagiku Ayah selalu bisa memberikan jawaban yang benar.


"Ayah, ini bijinya" kataku sambil memberikan piala kecil hasil lomba pidato di sekolah. Aku telah SMP, dan aku telah paham apa maksud Ayah tentang biji dan pohon besar di dalam bulan itu. Ayah mencium pipiku, memandangi piala itu, membaca keras-keras tulisan yang tertera di tatakan kayu tebal yang menyangganya, membersihkannya, lalu meletakkannya di sudut ruang tamu dekat deretan buku-buku. Kemudian mulai memberitakannya kepada siapa saja yang ditemuinya. Dan bagiku, perlakuan Ayah yang seperti ini lebih menghangatkan perasaanku ketimbang gemuruh tepuk tangan hadirin saat penyerahan piala itu. Sejak saat itu selalu berusaha membuat Ayah bangga. Meski tak selalu membawa pulang piala, Ayah tetap bersikap hangat atas semua pencapaianku. Pernah aku hanya menjadi juara harapan I dalam kontes pidato bahasa inggris tingkat propinsi, Ayah memfotocopy piagam pemberian panitia itu beberapa rangkap dan disimpan di folder penting di mana beliau mengamankan akte kelahiran dan ijasah. Sementara piagam aslinya beliau laminating, dibingkai, dan dipajang di ruang tamu. Kala itu hatiku terasa dingin, tersirat rasa malu, juga bersumpah akan memberikan Ayah piagam -piagam yang lebih baik dari itu.


"Harus pergi, ya ?"
"Iya, Ayah"


Leherku tercekat perih saat kujawab pertanyaan Ayah. Dari kaca spion kulihat mata Ayah memerah. Pastilah beliau belum ikhlas sepenuhnya, tapi beliau tidak melanjutkan lagi debat-debat kami seperti beberapa waktu sebelumnya. Sepertinya beliau sadar sikap kerasku mengejar mimpi adalah juga karena hasil didikannya.


"Biji pohonnya yang dulu masih ada, kan, Yah ?" tanyaku. Ayah berdehem dan bilang bahwa biji itu sudah tumbuh dan mulai tinggi. Kami terdiam lagi. Lampu-lampu sore mulai menyala di pelataran rumah sakit tempat aku bekerja. "Sekarang kita butuh pupuk, biar pohonnya tambah tinggi", lanjutku. Mata kami telah basah. Aku dan Ayah kerap berbincang dengan gaya seperti ini. Aku belajar banyak perumpamaan darinya. Belajar mengkiaskan satu hal sedih agar tidak terlalu menyedihkan, sebisa mungkin untuk bisa ditertawakan.


"Berangkat dari rumah, ji ?" tanyanya lagi, kali ini beliau jujur menyeka airmatanya. Baju dinas coklatnya yang juga tampak menua, juga jam tangan yang semakin longgar, membuat aku merasa berat untuk menjawab dengan jawaban yang sebenarnya. Nampaknya Ayah membaca pikiranku, lebih tepatnya, beliau telah paham dengan kebiasaanku. Aku pantang bersedih-sedih kala berpisah, tak pernah sepakat di antar ke bandara, dan benci dengan melankolia berdadah-dadah tangan seperti film-film India.
Ayah menitip restunya di kening dan pipiku. Di tangannya telah kuselipkan fotocopy pasport, tiket pesawat, juga perjanjian kontrak kerjaku. Meski Ayah tidak paham apa yang tertulis di situ, tapi Ayah mengaku senang bisa membaca kertas yang seluruh tulisannya dalam bahasa Inggris. Pastilah kertas-kertas itu akan beliau tunjukkan ke siapa saja yang ditemuinya. Aku tidak pernah lagi mencegah beliau dari kesenangannya itu. Selama Ayahku merasa bahagia, akan terus kuberikan padanya banyak kertas yang ditulis dalam bahasa-bahasa asing lainnya, dan pastinya ada namaku tertulis dalam rangkaian kalimat di atasnya.


Love u, Dad...













0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih atas komentar anda

 

Copyright © 2010 Nuri Note - Nuri Note - by Nuri Nura