Jejak Jejak di Jalan

Jejak Jejak di Jalan

"Hey.."

| Selasa, 10 Mei 2011
“Hey..” sapanya. Kuberi senyum saja. Aku tidak tahu siapa dia. Kenapa harus kujawab “hey”nya?

“Hey” sapanya lagi. Belum bosan rupanya. Kuberi tampilan gigi sebaris. Entah kenapa. Mungkin agar nampak ramah di matanya. Ah, memang apa untungnya ?
“Mari berkawan” tawarnya. Enak saja. Dulu kukenal seseorang dengan tawaran serupa. Merayuku sesekali kemudian acuh. Entah darimana dia tahu bahwa aku paling bernafsu dengan pria acuh. Hampir setahun bayangannya hanya menari di kepalaku. Membayangkan warna rambutnya, warna matanya, bagaimana hidungnya, bagaimana tangannya, berapa tingginya, seperti apa suaranya.
Tentu, saya sama sekali tak keberatan” katanya lagi. Aku dirasuki perasaan senang. Sungguh sopan menjawab setiap pertanyaan. Dulu dia juga sopan. Mengirim kalimat “tidak apa-apa” setiap kali terlambat membaca pesannya. Kami mulai berbagi kisah dan menertawakan hal-hal yang sebenarnya cukup disenyumi saja.
“ Kupikir May paling tahu mana yang terbaik” . Entah ini strategi atau apa. Dia tak menyapaku “kamu” atau “kau”, tapi menyebutkan namaku.Selalu. Ada rasa manis juga kesal. Pastilah dia, juga dia,  berguru banyak dari para pakar perempuan.
“Hey” katanya lagi dan lagi. Aku terbang dan mendarat di gerbang rumah sakit saat seorang pria manis, sungguh manis, menyerahkan sebuah jaket dan helm tanpa memperkenalkan dirinya. Perjumpaan pertama, namun segera kami mengenali masing-masing. Tentu, karena kami telah sering bertukar kisah tanpa bersuara. Aku melayang lagi lalu singgah di emeperan toko cina, kudapati tangannya menggenggam tanganku yang dingin. “Jadi kekasihku, ya” pinta tangannya. Tanganku mengiyakan dengan ikut menguatkan genggamannya. Terbang, dan hinggap di sebuah beranda rumah saat bulan purnama. Kulihat diriku merajuk agar dia berlatih ijab qabul saat itu juga. Ada tawa, ada cita-cita. Ah, apa namanya kalau bukan indah.
“Hey...baik-baik saja ?” sapanya setelah sekian lama. Kuhadiahkan senyum lebar dan mata  bercahaya. Tentu, tentu agar terlihat bahagia di depannya. Lalu menyusul deretan kalimat-kalimat betapa kami adalah dua orang yang sama sekaligus berbeda. Menyusul kemudian kalimat lain seperti sudah lama hendak dimuntahkan. Bahwa kebersamaan yang terjadi selama ini mengalami sedikit penyimpangan. Kemudian rencana untuk berpisah sebagai keputusan.
Aku terlempar lagi pada suatu kejadian. Suatu pagi, saat letihku menguap oleh sms selamat menjelang pernikahan. Benar dia akan menikah. Tapi bukan aku mempelai perempuannya. Aku tidak marah. Dunia memang terlanjur tahu betapa sempurnanya perpaduan dia dan aku, sehingga tidak menyangka bahwa kursi sisi kirinya tidak diperuntukkan bagiku. Masih bisa kulihat perempuan kusut yang tertawa di telephon, dengan air mata yang meloncat-loncat, dengan suara diceria-ceriakan, bahkan saat tak sudah mampu bernapas pun dia masih bisa menemukan alasan bahwa pulsanya habis hingga percakapan tak bisa dilanjutkan.
“Hey, everything is okey, kan ?”
“Of course”
“Sudah makan ?”
“Tentu saja sudah”
“Kita masih bisa berkawan ?”
“Tentu saja bisa”
Lalu diam. Entah berapa banyak lagi kalimat-kalimat kepura-puraan.
“Saya senang May masih bisa tertawa. Sungguh”
“Saya juga senang kakak telah menemukan kebahagiaan”
“Terima kasih”
“Jaga dia baik-baik yah. Jangan jahat seperti waktu sama saya”
Kami tertawa. Malam tidak cukup piawai menyembunyikan mataku yang berkaca-kaca.
“Jangan menangis lagi, yah. Janji ?”
“Janji”
“Saya percaya kalau May yang berjanji”
***
“Hey.. “ sapaku. Dia diam. Kutitip senyum gigi sebaris. Dia juga diam. Dia sama saja dengan dia. Datang dan pergi begitu saja. Memintaku berjanji untuk tidak pernah menangis. Aku lupa. Mestinya dia, juga dia, kuminta untuk berjanji tidak membuatku terluka.


Gizan, 7 Jumadil Thani 1432 @ 19;43 KSA


0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih atas komentar anda

 

Copyright © 2010 Nuri Note - Nuri Note - by Nuri Nura