Jejak Jejak di Jalan

Jejak Jejak di Jalan

Minta Jimat, Yah

| Rabu, 11 Mei 2011
Dear Ayah...
Pasti sudah bangun di sana. Tak akan kuganggu ritual subuh Ayah dengan dering telepon, meski aku rindu suara lelaki pengumandang adzan yang syahdu. Selalu jadi yang pertama terjaga dari seisi rumah. Kuingat dulu Ayah sering membangunkanku sholat subuh. Tidak pernah kasar. “Bangun subuh, Nak. Biar jadi orang besar” kata Ayah. Meski mata berat, aku tidak pernah bisa menolak jika dibangunkan dengan kecupan.
Ayah, sudah sarapan ? Mama bikin kue apa pagi ini ? Atau jangan-jangan Mama tidak di rumah, seperti beberapa kali terjadi, hingga Ayah terpaksa akrab dengan  sarapan songkolo’ samping mesjid ? Ah,  aku heran kenapa Ayah tidak pernah terlihat benar-benar protes. Suami-suami lain tentu sudah marah jika diperlakukan seperti itu. Tapi aku tahu, Ayahku adalah pencinta paling tangguh. Ayah paling mengerti kalau Mama harus selalu jadi trainer abadi buat kakak-kakakku yang berlomba-lomba memberi kalian cucu. Ya, kan, Yah ?!
Jangan bilang Ayah tengah duduk di beranda, menghadapi papan catur yang dulu kita cat sama-sama. Sudahlah, jangan ditatap lagi. Aku memang selalu kalah , tapi bukan semata-mata karena aku bodoh, Ayah.
“Kenapa bidadari gambarnya selalu putih ?” tanya Ayah. Pion hitam maju selangkah.
“Mungkin untuk mendukung kisah-kisah tentang betapa baik dan bersihnya mereka” kataku. Pion putih bergerak mengintai dari kiri.
“Jadi itu juga sebabnya kenapa perawat seragamnya berwarna putih ?” tanya Ayah lagi.
“Bisa jadi. Lebih tepatnya memaksa si pemakai seragam putih itu untuk bertindak seputih baju yang dipakainya. Bahasa lainnya mungkin adalah agar berhati-hati. Paling tidak selama baju putih itu melekat di badannya” tuturku panjang berdiplomasi. Kuluncurkan benteng putih dengan riang hati.
Kuda hitam menikung letter L menelan benteng putihku. Senyum diplomasiku lenyap oleh senyum kemenangan Ayah.
“Ayah curang !” jeritku
“Itu namanya strategi , Nona”  tawa Ayah membuat iri tetangga rumah.
Ayah tidak ke kantor hari ini ? Hari kamis kan ada jadwal dokter kantor. Tapi tidak apa kalau sesekali tidak bertemu beliau. Aku tahu Ayah hanya akan minta vitamin saja, selebihnya, hanya cerita panjang lebar tentang anak-anak dan keluarga, bukan? Makanya, setiap hari kamis, alis kananku sudah berkedut sejak subuh . Tapi jangan sangka aku tidak bisa membalas, ya. Disini aku juga selalu cerita ke orang-orang tentang Ayah. Tentang hal-hal yang dulu sering kita lakukan bersama. Dan mereka semua bilang Ayah hebat. Aku yakin alis kanan Ayah juga akan kedutan di sana. J
Yah, aku punya rahasia. Baru sedikit yang tahu. Tadinya Ayah tidak termasuk dalam daftar orang yang akan kuberi tahu. Ingin jadi kejutan sebenarnya. Tapi aku berubah pikiran. Mungkin karena aku terlalu takut. Aku merasa perlu menggunakan jimat lagi kali ini.
Tahun lalu kan aku lulus ujian BCLS, kan, Yah. Itu lho, yang sertifikatnya ku kirim ke email adik, yang ada tanda tangan Menteri sama logo organisasi jantung sedunia itu. Nah, itu baru level pertamanya, Yah. Basic istilahnya. Tidak basic-basic juga sih, kan sudah pernah kuikuti yang serupa di Makassar dulu. Ingat, kan, waktu Mama marah-marah karena 3 hari berturut-turut aku pulang subuh dengan  tanda tangan kerikil dan aspal di kaki dan lengan :P
“Ah, belajar menolong nyawa orang tapi nyawa sendiri tidak diperhatikan” celoteh Mama sambil bercucuran airmata. Kulihat Ayah tersenyum di pintu. Mama cengeng, ya, Yah. Mama tidak tahu kalau anak perempuannya punya sembilan nyawa. Ssst...ini rahasia kita.
Kali ini aku akan ikut lagi, Yah. Yang ini level  advance. Lebih tinggi dari basic. Ini ujian yang banyak ditakuti perawat lho, Yah. Selain ujiannya jauh lebih rumit, biayanya lebih mahal, waktu pelatihannya lama, kabarnya pengujinya juga sangar-sangar, Yah. Peserta terbatas dan kalau gagal satu kali, langsung KO ! Tidak ada ampun.
Seram ya, Yah. Aku sampai kadang mual kalau melirik jadwalnya.
Tapi Ayah tahu, tidak. Kalau lulus ujian ini, aku akan dapat kartu ajaib. Ada tulisan keren “ACLS Provider” di kartu identitas merah yang bisa bersinar meski disembunyikan di dalam saku. Hahaha.
Okey, aku bohong soal sinarnya yang tembus saku. Aku bukan mengejar kartu itu supaya dibilang keren , kok, Yah. Ada empat alasan :
1.    Kalau namaku terpampang di kartu itu, nama ayah juga pasti ada di sana
2.    Sertifikatnya ditulis dalam dua bahasa asing. Ayah pasti suka.
3.    Segera aku akan tergabung dalam tim bergengsi di tempatku bekerja. Namanya Tim Garis Merah. Bahasa bule’nya Red Line Team. Ini tim yang maju paling depan untuk setiap kejadian luarbiasa seperti perang, bencana alam, juga insiden-insiden korban massal. Aku tahu, meski Ayah kadang takut, tapi Ayah paling mengerti bahwa itu situasi yang selalu kukejar dalam seumur karirku.
4.    Kalau punya kartu dan sertifikat ACLS, sama saja sudah di-panjar tiket untuk ke Eropa. Seperti mimpi kita, kan, Yah ?
Yah, hampir pukul 10 malam disini. Aku mau tidur lebih awal. Hadir di mimpiku, ya, Yah. Bangunkan aku dengan kecupan kening yang paling kusuka. Jimat andalan yang selalu kuminta setiap kali menjelang ujian dan perjalanan jauh. Titip salam buat Mama. Bilang maaf, putrinya masih lebih suka menjahit luka daripada menyulam taplak meja. Bilang juga kalau aku rindu marah-marahnya yang sambil sesunggukan mengaduk sayur labu santan kesukaanku.
Aku rindu, Yah. Tak kurang juga rinduku pada Mama.
Semoga Allah SWT melindungi kita semua. Amin Ya Rabb

My Beloved Dad


Gizan, 8 Jumadil Tani 1432 @ 21:57 KSA

2 komentar:

{ Panggil aku Nova... } at: 14 Mei 2011 pukul 02.10 mengatakan...

Bangke!
Aku hampir nangis bacanya. Hahaha

{ Aku Kura-Kura } at: 16 Mei 2011 pukul 14.10 mengatakan...

haha...Daddy's daughter mode on :)

Posting Komentar

terima kasih atas komentar anda

 

Copyright © 2010 Nuri Note - Nuri Note - by Nuri Nura