Jejak Jejak di Jalan

Jejak Jejak di Jalan

Sayur Santan Labu, Sandi Mama Untuk Rindu

| Senin, 16 Mei 2011
Perempuan paling angkuh pertama yang kukenal. Jarang memberi pujian. Kerjanya membanding-bandingkan.  Melecutkan protes dengan cara yang sangat membekas di tubuh dan di hati.
“Aih, dapat sembilan ji ? I Baya tawwa dapat sepuluh” katanya mencemooh. Kuraih kembali kertas ulangan matematika yang tadinya kupikir bisa membuatnya bangga.
“Rangking dua ji. Dikalah sama Nining. Lebih bagus dia angka bahasa Indonesianya jadi rangking satu rapornya” komentarnya sambil meneliti angka-angkaku. Senyumku makin surut makin padam.
“Siratangi ni beta ri Ita. Sanging akkarena bongkar pasang ji na gaugang. Sallo na mo angngaji na tena pa na tamma’ bacanna” celotehnya sambil menyapu di kolong rumah. Aku sesunggukan sambil terus membaca Al Qur’an. Sesekali ku dengar dia berteriak mengoreksi bacaanku. Tajam sekali telinganya. Suara srek-srek tanah beradu dengan sapu lidi tidak bisa menyamarkan kesalahan harakat bacaanku. Aku harus khatam hari itu, atau tidak ada baju baru saat lebaran.
Beberapa kali aku dibuatnya berkaca-kaca di sekolah. Saat menjelang pengambilan rapor, murid-murid yang lain memamerkan isi rantang makan-makannya yang dipenuhi nasi kuning dan ayam goreng. Belum lagi jatah rantang ekstra yang membuat Ibu Guru tersenyum gembira. “Yang penting itu nilai rapornya. Percuma bawa nasi kuning kalau tidak masuk ji tiga besar” katanya ketika kubandingkan isi rantang temanku dengan kotak plastik makananku yang isinya cuma indomie goreng dan telur goreng hasil buatanku. Dia juga nampak dingin dengan rangking empat yang kubawa pulang. Satu-satunya yang menghibur adalah bungkusan hadiah berisi dua buku tulis dan alat tulis dari sekolah.
Beberapa kali kucari fakta untuk meyakinkan bahwa dia bukan mamaku. Saat Ayah membongkar arsip-arsip lama, bundel akta kelahiran membuat hasratku menyala. Kubayangkan menemukan surat adopsi di sana. Juga waktu merapikan album-album masa kecil, kuteliti satu-satu foto _ yang entah kenapa _ kuharap menemukan rahasia bahwa aku bukan anaknya. Waktu ada pemeriksaan golongan darah di sekolah, aku menjadi pendaftar paling pertama dan sibuk membongkar buku biologi demi mengecek kecocokan antara golongan darahku dengan Ayah dan perempuan yang kupanggil Mama itu.
Saat liburan ke kampung, daripada ikut main ke sawah bersama para sepupu, aku lebih sering melakukan wawancara khusus dengan nenek dan saudara-saudara Mamaku. Juga beberapa keluarga dekat yang kupikir bisa memberi informasi tentang momen kehadiranku dalam keluarga. Aku menjelma menjadi detektif yang menelusuri kejadian dengan menanyakan aku lahir hari apa, tanggal berapa, di mana, berapa beratku, siapa saja yang hadir hari itu, apa kejadian spesifik saat itu, apa makanan kesukaan mama saat mengandung aku, berapa bayi yang lahir di tempat itu yang bersamaan denganku, siapa yang ada di samping mama saat masih di opname, siapa bidan atau dokter yang menolongnya, bagaimana kondisi ruang bayi tempat mereka merawatku dulu, dan banyak lagi.
Bukan tanpa alasan semua hal itu kulakukan. Bagiku mama terlalu keras terhadapku. Dia belaku keras juga pada dua kakak perempuanku, tapi cenderung berat di bagianku. Beberapa kali kudengar kisah kerasnya didikan nenek saat mama kecil dulu. Sebagai anak sulung tak berayah, mama menceritakan betapa beratnya perjuangannya untuk hidup dan bersekolah. Tapi kan bukan berarti Mama lantas meneruskan terapan metode sekeras_menurutku_ itu.
Kenapa nama kita aneh, Kak” tanyaku suatu hari saat kakak sulungku mengepang rambutku.
“Aneh di mananya ?
“Yang di bagian namaku yang aneh sendiri”
“Semua dapat awalan Nur buat perempuan, Muh buat yang laki-laki. Ditambah pam dari Ayah. Bukannya itu seragam ?”
“Coba hitung total hurufnya. Punyaku cuma 12. Huruf nama kalian bertiga sama-sama 13”
“Sambarang tong kau nu pikir. Na paling bagus itu namamu. Nama anggota DPR itu dikasihkan ko”
“Ah, alasannya ji kapang Ayah. Lagipula, memangnya tidak ada nama lain yang akhirannya huruf I seperti kalian bertiga ? Kenapa cuma aku saja yang berakhiran A ?”
Kakak memeluk punggunggu. Dia tertawa sambil menarik hidungku. Kembali aku curiga. Kenapa hidungku dan hidung mereka tampak berbeda ?
Pernah dalam acara kumpul keluarga di kampung Ayah, kutanyakan pada Om Kulle, kakak sulung Ayahku, perihal nama-nama kami berempat.
“Bukan perkara gampang saat memberikan nama. Nama itu adalah doa. Tapi kalau kau tidak suka sama nama sekolahmu, pakai saja nama pa’daengannu. Jauh lebih bagus”.
“Masa’ saya diabsen guru dengan nama Daeng Ngasih, Om ? Tua sekali kedengarannya”
Om Kulle tertawa. Mengusap kepalaku. “Justru bagus. Tidak ada itu orang Jepang yang namanya Daeng Ngasih” katanya lagi sambil mencium mataku. Aku diserang curiga lain. Hey, kenapa mataku sipit sekali yah ?

“Ma’, kalau besar ka’ nanti. Mau ka’ pergi ke luar negeri” kataku bersemangat suatu minggu pagi. Itu tersulut karena beberapa hari sebelumnya sekolahku didatangi promosi sebuah balai pendidikan bahasa asing. Ayah tersenyum dan mendukung. Mulai menceritakan tentang perjalanan studi banding anggota DPR yang di kenalnya. Ayah bahkan mengambilkan peta dari dalam lemarinya. Aku takjub saat tahu ternyata Ayah menyimpan sebuah peta dunia. “Besok Ayah bawakan atlas dunia yang lengkap. Hari senin biasanya ada penjual buku yang masuk ke kantor” janji Ayah kusambut dengan senyum lebar dan dada mengembang. Dan Mama, seperti biasa, menerawang sambil berkata “ Mau ke luar negeri baru ulangan bahasa Inggrisnya dapat tujuh ji”. Aku terbiasa dengan sengatan kalimat Mama. Tapi kala itu rasanya nyeri sekali. Aku tertampar dan merasa Mama telah terlalu sering meremehkan mimpi dan pencapaianku. Aku muak. Air mataku meloncat.
“Nanti kursus ka’ bahasa Inggris” teriakku sambil berdiri dan bergetar.
“Uang dari mana ?” mama mata menyipit, hatiku terasa sempit.
Kulirik Ayah, berharap ada dukungan. Tapi Ayah hanya diam. Gaji PNS golongan rendahan membuat Ayah hanya mampu berjanji membelikanku atlas.
“Nanti pi cari ka’ uang sendiri” air mataku membanjir. Tapi aku tetap berdiri. Perempuan angkuh di depanku itu tersenyum meremehkan.
“Apa bisa kau kerja. Bangun subuh saja susah” cemohannya sungguh membuat dadaku makin membara. Aku benci padanya.
Besok sorenya, kulihat sebuah becak memasuki kolong rumahku. Kudapati mama tertimbun di antara karungan kentang dan labu. “Angkat !” teriaknya dari dalam becak. Aku meloncat dari paladang dan ikut membantu Daeng becak menurunkan barang.
“Mau ko ke luar negeri toh ?” kalimatnya menantang. Aku geram. Kuambil dua baskom besar dari dapur. Bolak-balik mengangkat air dari sumur. Menyikat satu persatu kentang dan labu dengan air mata bercucuran. Aku bersumpah tidak akan makan sampai sayur-sayur itu selesai kubersihkan. Dua kakakku berjejer di tangga menonton aksiku. Adik bungsuku berjongkok di depanku sambil mengunyah roti keju.
Suara deru mobil dinas ayah mendekati rumah. Saat pintu terbuka, kucium aroma nasi padang dari sana.
“Makan dulu” ajak Ayah. Aku menolak dengan diam. Tanganku sibuk menyikat kentang. “Sini kita yang makan kalau dia tidak mau” kata mama. Hatiku sakit ditinggal sendirian di antara baskom labu dan kentang. Aku meloncat masuk ke baskom. Kugilas kentang-kentang itu dengan sisa-sisa kekuatan dari kaki-kakiku.
Akhirnya aku terkapar. Masih tersisa sekarung kentang. Aku berbaring di balai-balai bambu, dan terbangun sudah ada di kamarku. Subuh jam 3, Mama membangunkanku. “Katanya mau cari uang” katanya sambil membongkar kelambu. Kembali aku merasa ditantang. Aku bangkit dengan kantuk berat yang keras kulawan. Ayah mengemudi dalam diam di sepanjang jalan kami menuju pasar terminal subuh.
Tiga karung sayuran habis dalam waktu kurang dari 3 jam. Mataku bersinar melihat matahari pagi menimpa tumpukan uang dalam kantong kresek berwarna hitam. Setelah memisahkan modal dan keuntungan, Mama menyerahkan tujuh ribu rupiah ke tanganku. “Simpan untuk pembeli tiketmu ke luar negeri” katanya tanpa menatapku. Dia berbalik. Kudengar dia terisak sambil mengeluh terserang flu.
***
“Mama itu selalu bangga padamu. Banyak impian masa mudanya yang dititipkan di perjalananmu. Caranya saja yang berbeda dengan Ayah” kata Kakak seberang telephon. “Mama memang paling jarang mengeluh rindu, tapi paling sering tertidur di tumpukan album fotomu. Mama tidak suka sesumbar ke orang-orang tentang prestasimu, beliau malah cenderung malu, tapi selalu sibuk mencarikan jalan agar kamu bisa terus melanjutkan perjuangan. Mama tidak mau kamu menjadi sombong, makanya beliau bersikap dingin, mungkin menurutnya jatah pujian Ayah sudah cukup untuk membuatmu terbang. Ayah membakar mimpi, Mama mencarikan jalan mewujudkannya. Ayah betah berlama-lama bercerita tentangmu, sementara Mama sibuk terus berpura-pura terserang flu jika ada yang menyebut namamu. Mama itu adalah pencinta yang angkuh”. Aku tertegun. Kakak sulungku terdengar makin bijak sejak melahirkan anak keduanya.
Aku malu. Semua daftar pencarianku memang selalu menemui jalan buntu. Semua yang kutanyai, memberi jawaban yang serupa tentang asal usulku. Hukum Mendel menampar kelancanganku yang telah berani ragu. Perempuan itu ternyata benar mamaku. Perpaduan kromosomnya dan kromosom ayahku menyatu dan mengalirkan golongan darah B ke seluruh tubuhku. Mata sipit dan hidung sedikit tinggi memang adalah warisan ayah, tapi kemauan keras adalah turunan mutlak dari mama. Sekeras apapun aku berusaha membantah, aku adalah bagian dari dirinya. Perempuan baja yang selalu mengidam buah apel saat aku masih di kandungannya. Perempuan yang bertaruh nyama saat melahirkan bayi perempuan seberat 4 kilogram yang membuatnya kehilangan banyak darah. Perempuan baja yang merobek pasar subuh demi kelanjutan sekolah anak-anaknya. Perempuan malang yang jarang punya baju baru saat hari lebaran. Perempuan yang bersuamikan laki-laki berupah bulanan kecil itu telah lama berhenti menanti tanggal baru dan memutuskan mencari tambahan hidup dengan cara yang dia mampu. Semakin hari wajahku makin mirip dengannya. Bahkan aku terkejut menemukan kenyataan bahwa aku juga seringkali menyukai pria yang bertautan umur jauh lebih tua.
“Kau kuat yah, bertahun-tahun jauh dari mamamu. Kalau aku sih pasti sudah sekarat jika seminggu saja tidak bertemu” kata temanmu suatu hari di ruang chatting.
“Mamaku malah tak suka kalau aku manja begitu” jawabku. Aku tersenyum setelah mengetik kalimat itu.
“Oh ya ?”
Mamaku tidak pernah menangis jika rindu, dia cuma mengeluh terserang flu”
“Haha... Alasan yang hebat”
“Kau tahu bagaimana caranya mengatakan bahwa dia rindu ?”
“Bagaimana ?”
“Dia akan bilang bahwa dia sedang memasak sayur santan labu ”
“Ah, seperti sebuah sandi, ya”
“Iya, begitulah mamaku”
.............................
Kado yang terlambat buat Mama...selamat ulang tahun, Mam. Meski lebih sering kutuliskan tentang Ayah, bukan berarti aku tidak sayang padamu. Aku hanya sering bingung bagaimana aku membahasakan cinta yang sangat besar itu. Lagipula Mama tak suka digombal, bukan ?
Ku sayang ki’, Mam.
Sayur Santan Labu, Sandi Mama Untuk Rindu


Gizan, Mei 2010 @ 11:04 KSA

*Bahasa Makassar : Siratangi ni beta ri Ita. Sanging akkarena bongkar pasang ji na gaugang. Sallo na mo angngaji na tena pa na tamma’ bacanna = Wajar saja kalah dari Ita. Kerjanya cuma main bongkar pasang (mainan boneka dari kertas) saja. Sudah lama sekali mengaji tapi belum bisa khatam bacaannya

*Nama pa'daengang : nama gelar untuk sapaan penghormatan masyarakat makassar. Disematkan sebagai lambang kedewasaan, biasanya saat akan menikah. Tapi dalam keluarga saya, gelar pa'daengang sudah diberikan sejak dikhitan/diislamkan. Dan sejak pa'daengang telah disandang, si pemilik nama telah dijelaskan makna namanya dan harus berusaha berbuat baik sebaik nama yang disandangnya (filosofi Ayah)

0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih atas komentar anda

 

Copyright © 2010 Nuri Note - Nuri Note - by Nuri Nura