Jejak Jejak di Jalan

Jejak Jejak di Jalan

Hachiko dan Blacky. Tentang resensi dan pengalaman pribadi

| Sabtu, 02 April 2011

Saya suka film. Bagiku sebuah film mirip sebuah buku. Membuatku pindah dari satu dimensi ke dimensi lain. Maaf kalau masih lebih suka film barat daripada film lokal. Ini bukan soal nasionalisme, tapi soal kualitas. Film keluarga yang sedih, tapi tidak banyak adegan meraung-raung banjir air mata, apalagi makian overacting khas sinetron-sinetron Mamaku di rumah. Hanya saja entah kenapa air mata bisa mengalir diam-diam, hidung jadi mampet karena ternyata air mata itu kemudian disusul ingus. Ah kenapa sih kalau kita menangis mesti ingusan ? Lalu saya sempat tertegun lama, dan menghabiskan SR 100 hanya untuk menyampaikan pada ayah bahwa saya menangis gara-gara sebuah film. Akhirnya film itu ku download dengan semangat berapi-api. Sambil berpikir bagaimana caranya menambahkan text bahasa Indonesia di dalamnya supaya ayah juga bisa menontonnya. Tapi, ah, nanti sajalah kucari tahu. Yang penting download dulu.
Ini tentang anjing kecil yang tersesat di stasiun kereta dan ditemukan oleh seorang professor. Sang professor terpaksa membawanya pulang ke rumah karena tidak ada satupun orang yang mau menampungnya sementara cuaca sedang dingin sekali.
Anjing ini berkenalan dengan istri professor dengan cara yang salah, soalnya pas mereka lagi asyik bercinta karena lama baru berjumpa, eh, si anjing malah mengganggu. Ini menurutku nah. Tapi dia memang dia tidak suka kalau ada binatang peliharaan di rumah. Besoknya, meskipun putri professor ini juga berniat memelihara anjing ini saking lucunya, istri professor ini tetap keukeuh menyiapkan poster pengumuman anak anjing hilang. Yang kutangkap, meski professor suka anjing ini, tapi dia lebih sayang kepada istrinya. Dia nampak paham sekali melihat istrinya kesal.
Nihil. Tidak ada yang mencari anjing itu, juga tdak ada yang bisa menampungnya sementara. Tempat karantina anjing sudah penuh, jasa lost and found di stasiun tidak bisa menerima, bahkan saat perempuan pemilik toko buku suka dan bersedia memeliharanya, eh malah si kucing yang ukuran badannya lebih gendut malah mencakar di anjing. Sekke’ na itu kucing !. Terakhir waktu ditawarkan pada penjual hotdog di depan stasiun, penjul itu malah bilang “ Aku penjual hotdog, menurutmu bagaimana kalau anjing itu ada padaku ?”. Hehehe...ini salah satu gaya bicara orang Inggris yang kusuka. Mereka punya humor yang baik.
Dari sahabat Nippon Si Professor, ternyata anjing itu bernama Hachiko, itu tertulis di kalung lehernya. Hachi artinya angka delapan, sebuah keberuntungan. Ada kalimat yang kusuka juga dari orang sipit ini “ Kau menemukannya, atau dia yang menemukanmu? Aku rasa kalian memang berjodoh”. Lagi-lagi saya tertegun di bagian ini. Iya, yah. Saat kita bertemu dengan orang atau hal dalam kehidupan kita, itulah jodoh.
Akhirnya anjing itu bisa diterima di rumah. Pasalnya suatu hari, saat istri professor menerima telephon dari orang yang berniat mengadopsi anjing ini, dia tersentuh melihat keakraban suaminya yang tengah bermain-main dengan Hachi. Meski dia sempat sangat kesal saat Hachi menghancurkan buket rancangan bangunan yang dia kerjakan berbulan-bulan, luluh melihat suaminya merangkak-rangkak di tanah demi mengajari Hachi mengejar dan mengambil bola.
Hachi tumbuh besar dan terlihat makin gagah. Semakin akrab saja dia dengan professor. Tapi tetap tidak mau diuruh mengambil bola. Suatu hari, saat pacar putri professor ini bertandang ke rumah, Hachi membuat proses pedekate itu berlangsung makin kikuk. Kasian si cowok jadi tengsin saat dicuekin bolanya sama Hachi. Hehehe. Ada lagi satu adegan kusuka disini. Acara pedekate keluarga ini sangat enak ditonton. Laki-laki itu datang membawa ole-ole bumbu masak untuk istri professor, lalu mengobrol sambil ber barbeque ria di halaman belakang. Ingat jaman pedekate eks ku dulu. Na bawakan kue mamaku, baru na ajak ngobrol ayahku. Hmmm, ternyata tidak beda jauh ji rumusnya laki-laki Makassar sama bule’, di’. Hehehe... 
Sementara si laki-laki ini berusaha mencairkan suasana dengan mengobrol soal pekerjaannya (biasalah promosi), professor lantas bertanya out of the topic “ Kau mencintai putriku ?”. Terkejut karena pertanyaannya tiba-tiba (hum, professor ko lawan..hehe) laki-laki itu bilang “Ya, aku mencintainya, Aku sangat mencintainya”. katanya sambil berusaha mengendalikan keterkejutannya “Oke, itu kalimat yang harus kau ingat saat kau menghadapi hari yang buruk bersamanya” kata professor. Duhg...ini ayah juara 3 sedunia. Juara duanya ayahnya Ikal, juara satunya tentu saja Ayahku.
Hari-hari berikutnya, Hachi memiliki kebiasaan yang sama sekali tidak bisa ditolak professor. Dilarang dengan cara bagaimanapun, Hachi tetap ngotot mengantar-jemput tuannya berangkat kerja sampai stasiun. Akhirnya pemandangan ini menjadi sesuatu yang biasa bagi orang-orang sekitar sana. Di jam yang sama, setiap hari , selama bertahun-tahun, Hachi mengantar dan menyambut tuannya sepulang kerja. Sampai suatu hari. Hachi mogok. Professor bingung melihat Hachi diam saat diajak berangkat ke stasiun. Orang-orang sepanjang jalan juga tampak aneh melihat professor jalan sendirian . Tidak biasanya. “Mana Hachi?” tanya mereka. Saat kereta hampir berangkat, tiba-tiba Hachi muncul dan mengajak tuannya main bola. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Setelah bertahun-tahun, baru kali ini Hachi mau melakukan permainan itu. Tapi karena waktu semakin mepet, Professor mengakhiri kebahagiaannya itu lalu berangkat. Hachi sedih, lalu pulang dengan mimik lesu.
Dan ternyata setelah itu Professor tidak pernah kembali lagi. Sesaat setelah bermain piano, Professor bicara di depan kelasnya betapa cintanya dia pada karya-karya klasik. Bahwa dulu orang melakukan pentas di panggung dengan diiringi piano secara langsung, bukan dengan tape recorder seperti sekarang. Lalu dia meninggal saat memegangi dada kirinya. Mahasiswanya baru sadar kalau itu bukan acting saat Professor rebah di lantai. Sumpah, saya kesal sekali disini, kenapa tidak ada yang memulai CPR sih. Itu gagal jantung, ongol !!!! (sorry, emosi ka soalnya)
Hachi masih menunggu di stasiun sampai malam. Kendati orang-orang berusaha menjelaskan padanya bahwa tuannya sudah meninggal, Hachi tetap menunggu sambil menatap pintu stasiun. Satu tahun berlalu, Hachi tidak berhenti. Setiap sore, di jam yang sama,  dia berdiri di tempat yang sama, menatap ke arah pintu stasiun yang sama. Menunggu tuannya. Jika dia lelah, dia tidur di bawah gerbong tua dan memakan apa saja yang bisa dia makan. Penjaga stasiun, penjual hotdog, dan perempuan pemilik toko buku sekitar stasiun menaruh simpati dan memberi makanan pada Hachi. Tapi Hachi terus menanti dan menanti. Duh, saya perih sekali disini. Saat seorang wartawan mengangkat kisah Hachi ke media cetak, orang-orang mengirimkan uang untuk penjaga stasiun agar membelikan Hachi makanan. Makin sakit leherku disini, tercekat sedih. Hachi makin tua, kurus, dan kumal, tapi dia terus menunggu.
Nippon, sahabat Professor terkejut mendapati berita tentang Hachi. Setelah melipat koran, dia berangkat ke stasiun dan menemui Hachi. Dalam bahasa Jepang dia bertutur, “Sudah bertahun, kawan. Dia tidak akan kembali, dia sudah meninggal. Ah, tapi aku tahu, kau akan terus menunggu. Tugas Hachiko adalah menunggu, bukan?!”. Hachi tampaknya mengerti, matanya tampak redup dan dia bersuara mendecit. Seperti suara lesedihan yang ditahan. Apa yang kubisa disini ? Ada nyeri yang menyusup ronggaku, sama rasanya saat diberi tahu bahwa ada tumor di kepala ayahku. Ugh !
Istri profesor juga terkejut saat melihat Hachi, dia tidak menyangka Hachi begitu setia. Porsi menangis yang dia lakukan di stasiun membuat saya merasa adegan ini begitu natural, menyusup sampai ruang-ruang terdalam. Begitu juga saat Putri professor merelakan Hachi melanjutkan penantiannya. “Aku tahu aku tidak bisa memaksamu tinggal bersamaku, meski aku menyayangimu. Teruslah menunggu. Ayahku juga sangat mencintaimu”, katanya sambil memeluk Hachi. Hiks, sedihnya adegan ini :(
Suatu malam, saat salju sedang turun, tiba professor muncul dari balik pintu stasiun dengan senyum dan sapaan khasnya, “Hachi, come on, boy !”. Hachi seketika hendak meloncat, tapi dia sudah terlalu lemah. Professor menghampirinya dan memeluknya. “Lama menunggu ya?” tanyanya. Hachi bangkit dan mereka kembali bermain dan pergi bersama. Keesokan paginya, orang-orang stasiun menemukan seekor anjing mati beku di depan stasiun. Hati mereka sama bekunya dengan tubuh anjing itu. Hachi meninggal dalam penantiannya. Semalam majikannya sudah menjemputnya.
Di tempat itu kemudian diletakkan sebuah patung berbentuk anjing jenis Akita untuk mengenang kisah Hachi. Berdiri menghadap pintu stasiun, lambang penantian dan kesetiaan.
....................................nangis dulu ah.
Gambar pinjaman dari om Google :)

Ini kisah nyata yang difilmkan. Aslinya ini terjadi di Jepang, dan patung Hachiko tetap berdiri di Stasiun Shinbuya di Jepang sana sampai sekarang. Yang berperan sebagai professor di film ini adalah di ganteng Richard Gere, yang sudah pasti adalah aktor idolaku sejak pertama kali kulihat di film Pretty Women bersama si cantik Julia Robert yang sedikit banyak mirip denganku. ^_^
Aah, tiba-tiba ingat kucing kesayangan Ayah, namanya Blacky. Kucing itu unik karena bulu badannya hitam tapi keempat kakinya berbulu putih sampai lutut. Jadi seperti mengenakan kaos kaki. Kucing itu dulunya kucing yang berkeliaran di kantor. Suatu hari dia sembunyi di mesin kolong mobil dan terbawa sampai ke rumah kami. Seharian dia menolak turun, samapai ayahku merangkak ke bawah mesin untuk mengambilnya. Kucing itu lucu, buang air juga di WC. Dia juga suka menjemput ayah tiap pulang kerja. Kalau suara mobil sudah masuk ke pekarangan rumah, dia pasti meloncat-loncat sambil mengeong minta dibukakan pintu. Saat pintu terbuka, dia lari menyongsong ayahku. Ini kejadiannya saat saya masih kuliah dulu. Di balik kelucuan Blacky, saya sebenarnya kasihan pada Ayah. Anak-anaknya sudah dewasa dan terlalu sibuk untuk bisa menyisakan moment penyambutan kala beliau tiba di rumah. Dulu saya dan adik bungsuku yang selalu menuggu ayah pulang. Karena kami memperebutkan jatah kue atau nasi dos extra dari rapat anggota dewan. Kakakku memperebutkan koran, dan mamaku senyum-senyum saja depan pintu. Itu dulu. Lalu sambutan itu digantikan oleh seekor kucing.
Lalu suatu hari Blacky merobek-robek sofa kesayangan mamaku dan minta ayah membuang kucing itu. Tidak diindahkan, mama masih diam. Lalu kemudian makin nakal, muntah dan menghambur meja makan padahal sudah ada jatah di piringnya. Mama naik pitam, dan memukulnya dengan sapu. Lalu Ayah menyuruhku menurunkan Blacky di rumah sakit. “Kalau dibuang ke rumah sakit kan banyak makanan”, kata Ayah tanpa menatap Blacky di pangkuanku. Blacky tidak mau turun dari gendonganku saat kuturunkan di depan poliklinik. Dia bahkan menggantung di celanaku sebagai permohonan terakhirnya. “Blacky, turun. Nanti kalau selesai kuliah, kujemut ko lagi. Sini mi dulu main-main, nah” , janjiku. Tapi, saya tidak pernah memenuhi janji itu. Meski perih setiap kali ayah memilih jalur macet memutar di arah parangtambung hanya untuk sekedar bisa melihat Blacky. Padahal untuk mencapai kantornya dan kampusku, akses jalur alauddin jauh lebih mudah.
Sudah 7 tahun. Mungkin Blacky juga sudah mati. Tapi kami masih selalu ingat kepadanya. Termasuk mama. Meski gengsi tapi mama juga tampak sedih saat ayah menanyakan padaku tentang Blacky. Sebelum keluar negeri, saya sempat bekerja 2 tahun di Rumah Sakit tempat Blacky kutinggalkan saat itu. Tapi dia sudah tidak ada lagi. Mungkin sudah punya keluarga, atau menjadi playboy di dunia perkucingan karena dia punya tekstur wajah yang cukup gagah. Entahlah. Sesekali saya berbohong pada ayah bahwa pernah melihat Blacky di dapur membagikan sisa ikan pada istrinya. Ayah tampak senang mendengarnya. Padahal saya juga tidak yakin itu Blacky atau bukan.
Baik dari Hachi maupun Blacky, sedikit banyak saya belajar dari mereka tentang kesetiaan. Hanya saja, kadang kita tidak mendapat balasan seperti apa yang kita harapkan. Semoga Blacky dan Hachi bahagia. Semoga saya juga bahagia. Semoga kita semua bahagia.


0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih atas komentar anda

 

Copyright © 2010 Nuri Note - Nuri Note - by Nuri Nura