Jejak Jejak di Jalan

Jejak Jejak di Jalan

Perempuan Penyeduh Teh Italia

| Senin, 25 April 2011
Dia diam saat kutolak tawarannya. Aku menunggu. Beberapa detik kemudian dia tertawa.

"Ini cuma segelas teh, kau tidak akan mati dibuatnya"
"...."
"Sudahlah, aku mengerti" lanjutnya karena kudiamkan. Bisa kurasa dia kecewa. Tapi dia terus tertawa. Ah, perempuan ini. Dia menggunakan tawa sebagai topengnya. Dia juga tertawa di beberapa tulisannya. Kendati yang ditulisnya itu tentang nyeri dan luka yang berdarah-darah, dia seperti menuntunku agar tak turut sedih membacanya. Duka yang diparodikan, begitu aku menyebut gaya menulisnya. Ini hebat, dan sejak itu aku rajin menitipkan senyum di ruang-ruang virtualnya.

"Aku ada, meski kita tidak bersua. Percayalah, aku meletakkan mataku pada setiap gerak-gerikmu" lanjutku setelah beberapa saat kami terdiam. "Aku sering menghadapi penolakan dalam hidupku, tidak usahlah menghibur begitu" katanya. Ah, perempuan sok tangguh. Dia pikir aku anak ABG yang tidak paham gaya kalimat begitu. Dia tahu kalau aku tahu, tapi dia menggiringku untuk mengaku bahwa aku tahu. Cerdas.

"Aku mau. Kau harus tahu itu. Tapi aku tidak tahu apa aku mampu". Sial, aku mengaku ! Semakin dia bilang bahwa dia mengerti penolakanku, semakin aku dirundung gelisah. "Apa yang sulit dari acara minum teh ? Aku akan membawa sendiri gelasku, tehku, dan gulaku. Kau cukup menyediakan air panas dan berandamu" , kejarnya lagi. Aku stagnant !
"Bukan, bukan itu"
"Tidak usah galau, aku tidak memaksamu"
"Aku tidak punya kursi di beranda"
"Kita bisa duduk sulengka* "
"Tidak ada pemandangan bagus di halamanku"
"Kita kan mau minum teh, bukan melihat pemandangan"
Aku terjajar oleh kalimatnya. Alasanku dibuat-buat memang. Kupilih diam.
"Kecuali kau tidak suka teh" lanjutnya
"Tentu aku suka teh, selain vodka" . Sial, aku jujur padanya ! Kenapa aku jadi begini ? Ini tidak biasa. Belum pernah aku membuka sisi burukku pada orang lain, apalagi pada orang asing.

"Are you still with me ?" kalimatnya mengejutkanku yang lama terdiam lagi
"Masih ...", jawabanku diekori senyum tipis.
"So, jadi dong kita minum teh italia", dia tertawa, ada harap juga disana. Tiba-tiba aku merasa ingin tersenyum. Sial ! Perasaan apa ini ?

"Aku tidak berani berjanji karena aku tidak yakin bisa menepati. Kau tahu aku laki-laki, dan laki-laki hanya menjadi laki-laki karena dia mampu memegang janji"
"Well, as you like.  Sebenarnya, kau berjanji saja sudah membuat aku bahagia, tak ditepati pun tak mengapa. Aku terlanjur suka dengan janji. Aku bisa membayangkannya seolah-olah itu nyata"
"Oh ya ?"

Dia tersenyum lagi. Kucari kesedihan di dalamnya, tapi aku tersesat.  "Aku terbiasa menghibur diriku dengan bermimpi. Kau tahu kan kalau aku paling ahli dalam hal ini ?" mata kanannya mengedip ke arahku.
"Yeah, heavy class dreamer*....hahahaha" kami tertawa. Ada hangat, entah mengalir dari mana.

* * *

Ada sebuah taksi berhenti di depan rumah kecilku. Rumah tua warisan ayahku. Benteng terakhir pertahananku dari dunia nyata yang membuat aku kecewa.

Pintu taksi lama baru terbuka. Mungkin penumpangnya masih mengecek kebenaran alamat, mungkin juga menunggu kembalian dari supir taksinya. Kuperhatikan dari jendela. Sebuah kepala kecil lalu menyembul dari sana.

Perempuan kecil, berkimono merah jambu. Rambutnya digulung kecil sederhana, beberapa anak rambut menjuntai di sekitar wajahnya. Kulitnya putih, meski tak begitu bersih. Matanya kecil, sama kecilnya dengan bibirnya yang digigitnya sesekali.

Kuputuskan untuk keluar. Senyumnya mengembang saat melihatku berdiri di pintu. Tangan kanannya menenteng keranjang kecil warna cokelat, aku tahu apa isinya. Dia mengisyaratkan aku untuk tak usah membuka pagar. Kenyataannya dia bisa masuk dengan mudah. Hari ini aku memang tidak menguncinya, sengaja.

Aku bergegas masuk, meraih cerek listrik yang sudah mendidih dari tadi. Kudapati dia tengah menata dua cangkir berwarna jingga di lantai beranda. Memang tak ada kursi maupun meja di sana. Beranda itu selama ini hanya kujadikan sebagai tempat motor. Hampir 3 tahun aku tidak pernah kedatangan tamu.

Aku duduk di sampingnya, sedikit serong agar bisa melihat jelas apa yang tengah dia lakukan. Kami belum bicara. Jika mata kami bertemu, dia hanya tersenyum lalu melanjutkan kesibukannya. Sebuah wadah alumunium kedap udara dibuka, mengambil sesendok dedaunan teh dengan campuran tumbuhan lain yg entah apa, lalu dia sisipkan ke dalam selembar kertas tipis, sepertinya filter. Dia meramu dua bungkus, satu untukku, satu untuknya. Dia nampak seperti seorang dukun yang tengah sibuk. Lucu kelihatannya. Seharusnya dia meramu teh jepang hari ini agar matching dengan kimononya. "Aku suka padu padan, bahkan kontras pun bisa kujadikan pilihan"  katanya dulu.

Dua teh itu telah pasrah diseduh. Aku menunggu dia memasukkan gula, tapi gerakan tangannya membuat aku mengerti bahwa dia tak tahu takaran gulaku. Lalu bagaimana dengan tehnya ? Apa dia akan minum teh tanpa gula ? Setelah diseduh, dia mengangkat gelasnya, menghirup aromanya. Matanya terpejam, nampak nikmat. Kedua tangannya memeluk cangkir. Itu sebenarnya cara yang salah memperlakukan sebuah cangkir. Cangkir seharusnya cukup disentuh kupingnya agar terlihat anggun. Sementara dia justru memegangnya erat seperti memperlakukan sebuah mug.  Ah, amatir. Tapi kuhargai, setidaknya dia jujur dan tidak pura-pura seperti kebanyakan orang di luar sana.

Aku melarutkan satu sendok gula ke dalam tehku. Kusesap perlahan. "Pertama kali menyentuh lidahku, rasanya seperti dihembus angin hangat di tengkuk. Lalu saat melewati tenggorokanku, aku merasa didera rindu, entah pada apa dan siapa. Aku curiga teh itu tidak masuk ke lambungku, tapi tumpah ke jantungku" aku terkenang lagi pada deskripsinya tentang teh ini. Dan dia benar, teh ini menghembuskan rindu. Ah, aku merasakan degupku terpacu, lalu perlahan tenang kembali. Dia nampaknya tahu proses yang tengah terjadi padaku. Dia tergelak. "I told you, right ?!" pasti itu yang dia ingin bilang.

Senja turun, isi cangkir kami sisa setengah , dan kami belum bicara apa-apa. Memang begitu perjanjiannya. Kami akan minum satu gelas teh di beranda, satu jam, tanpa bicara, dan sudah. Aku menyanggupi permintaannya itu bulan lalu. Kubuat diriku percaya bahwa ini hanya minum teh, benar-benar hanya minum teh.

"Kita tidak akan mati bosan nanti satu jam tanpa bicara?"
"Kita kan bisa bicara dalam hati"
"Bagaimana bisa ?"
"Kita kan sudah sering berbincang di dunia maya sebelumnya. Jadi tinggal kita ingat-ingat saja apa yang sudah pernah kita bicarakan. Kita mahluk fiksi bukan ?"

Aku tersenyum mengenang chating itu. Dia juga tersenyum, seperti tahu yang tengah kupikirkan. Aku takjub, dia membuktikan janjinya. Acara minum teh ini memang sunyi, tapi aku tidak merasa sepi. Yang terdengar hanya suara cangkir yang diletakkan, suara sesapan, suara helaan napas, suara orang yang sesekali melintas, suara sayup-sayup musik dari laptopku di dalam rumah, juga sesekali suara burung merpati tetangga yang menonton kencan kami dari pagar sebelah. Ah, kencan . Ini tidak bisa dibilang kencan. Ini cuma pertemuan, awalnya ada sedikit keterpaksaan. Sampai sekarang pun aku tidak tahu kenapa kuiyakan.

Kutatap wajahnya, kutelusuri matanya, tapi dia menunduk bahkan mengalihkan pandangan. Ke pohon, ke pagar, bahkan ke cangkir-cangkir kami di lantai. Dia memang pernah bilang dia tak suka ditatap, tapi aku suka menatap. Dia bisa saja tidak suka, tapi aku suka menatapnya. Biar saja kalau dia marah, toh ini pertemuan pertama dan terakhir.

Ah, benarkah aku ingin ini jadi yang terakhir ?

Dia menunduk merapat-rapatkan ujung kimono ke jempol kakinya. Kami masih diam. Kulirik tengkuknya, putih. Ada tahi lalat hitam disana. Tak heran, perempuan ini pernah menceritakan kisah hidupnya yang penuh perjuangan. Itu pasti penanda takdirnya. Dia memang mirip perempuan Jepang, dan kulihat keras semangatnya memang cocok dengan baju yang dikenakannya hari ini.

"Kau nanti datang pakai kimono merah jambumu, yah" tawarku
"Hey, kok tahu ? Aku memang berencana pakai baju itu"
"Pasti cantik sekali"
"Tidak penting itu, yang penting kan tehnya"

Entah kenapa dia selalu menghindar jika kupuji cantik. Kubilang fotonya cantik, tapi dia bilang itu manis. Perempuan ini, ternyata tidak terlalu percaya diri soal fisiknya. Beberapa orang kudapati lebih percaya diri direpresentasikan sebagai manis daripada cantik. Whatever-lah...bagiku dia menarik. Sangat menarik malah. Dia punya beberapa kualitas yang bisa membuat laki-laki menjadi tertarik.

Tehnya tersisa sedikit, satu sesapan saja pasti habis. Kami sudah disini 45 menit. Komunikasi verbal belum menunjukkan tanda-tanda akan dimulai. Tapi aku merasa kami telah banyak bicara. Kami memang telah banyak bicara di dunia maya. Dan saat berjumpa di dunia nyata, aku asyik saja mencocok-cocokkan hasil khayalanku selama ini dengan kenyataan yang terhidang di depanku. Ah, aku mendengar suara aneh. Datangnya dari dadaku. Astaga, aku palpitasi* !

Dia menghela napas panjang. Lalu menoleh padaku. Tarikan senyumnya membuat dua matanya makin tenggelam, nampak sisa segaris saja. Ah, ada lesung pipi di sebelah kiri ternyata. Dia menyesap sisa tehnya. Tandas. Aku diserang cemas. Ini artinya dia segera pergi. Diliriknya gelasku, masih separuh.

"Kau tak minum tehnya ?"
"Aku minum"
"Kenapa tak aku habiskan ?"
Tanya jawab itu berlangsung dalam diam. Dia meraih gelasku, hendak meminumnya.
"Jangan "
"Kau pasti tak suka tehnya, sini biar kuhabiskan"
"Jangan meminum bekas minumku. Itu akan membuat kita saling merindu"
  
Sungguh, aku tidak tahu kenapa dialog ini terasa nyata tanpa bicara. Dia tertawa, dan tawanya membuat dadaku mengembang. Dia membereskan barang-barang selain cangkirku.
"Cangkir itu buatmu saja, sebagai kenang-kenangan"
"Kau tak jadi meminum sisaku ?"
"Katamu rindu menyakitimu"
"Minumlah...aku rela tersakiti hari ini"
"Jangan, kau sudah cukup tersakiti dengan masa lalumu. Aku hanya singgah saja, bukan ingin menambah nyeri"
"Minumlah...biar kau kurindukan saat kau kembali terbang ke negeri-negeri yang jauh. Bekas bibirmu akan jadi penawar nyeriku. Aku terlanjur suka pada semua nyeri yang kuhadapi. Menambah satu nyeri darimu sepertinya bukan lagi masalah"

Dia mencondongkan tubuhnya ke arahku. Aku digagap cemas sekaligus harap. Tangannya menyentuh pipiku. Aku bergetar, apa yang akan dilakukan perempuan ini padaku ?

“Kenapa kau tak suka dipeluk dari depan?” tanyaku pernah
“Dipeluk dari belakang lebih nyaman” jawabnya. Mataku tak berkedip menunggu, monitorku memberi keterangan bahwa dia tengah menuliskan sesuatu. Aku menunggu.
“Dipeluk dari belakang lebih terasa seperti perlindungan yang tulus. Kau bisa bersandar dengan nyaman, dan kau tidak sesak karena paru-paru masih bisa berekspansi bebas. Dipeluk dari belakang lebih terasa seperti mendukung, bukan menahan”

Ah, manis.

Tubuhnya kian dekat sekali denganku, kutekan kuat-kuat keinginan untuk memeluknya dari depan. Aku bergetar. Getar yang nyaris kulupa bahwa dulu aku pernah suka dengan semua efeknya. Sial, aku beku ! Aku seperti kucing lapar yang disodorkan ikan bolu. Aku mau, tapi sungguh aku malu. Takut, lebih tepatnya. Perempuan ini datang, setelah ini dia pasti pergi. Semua yang datang akan pergi. Aku dihantam rupa-rupa rasa, membuat dadaku terasa ingin pecah. Dia perempuan yang dipeluk hasrat akan masa depan, sementara aku lelaki yang terus mencumbu masa lalu. Dia yang memilih terus berlari agar bebas dari nyeri, sedang aku yang memilih untuk tetap sembunyi. Kami berbeda sekaligus sama. Kami sama sekaligus berbeda.
Dua matanya berkaca. Mungkin dia merasa kecewa karena aku tak melakukan apa-apa. Ah, andai kau tahu saja. Senyumnya menipis. Aku teriris.

“Kau boleh kukecup nanti ?”
“Di mana ?”
“Di mana saja kau suka”
“Di kening saja yah. Aku suka kecupan di kening”
“Aku suka mengecup di mata”
 “Dan di enam tempat lainnya juga ?”
“Jika kau tak terluka karenanya”
“Tidak usah. Itu kebiasaanmu dulu dengan dia, bukan ?”
“Maaf”
“Hey, bukan masalah. Aku memang suka dikecup di kening saja”

Perempuan yang cemburu. Aku tahu. Bisa kubayangkan wajahnya dari hasil ketikan jarinya. Emoticon tersenyum menyusul setelahnya. Dasar pemain drama, masih saja dia mau berpura-pura.

Lampu-lampu tetangga mulai menyala. Gelap perlahan turun. Aku di dera rindu, padahal dia baru berjalan tiga langkah dari hadapanku. Pita kimono di panggulnya melambai, seperti mewakili ucapan bye-bye.

Dia terus berjalan. Aku dipatuk nyeri. Bunyi engsel pagar berdecit. Seperti hatiku yang menjerit. Dia berhenti sejenak. Aku berjanji dalam hati jika dia menoleh sekali saja, akan kusongsong tubuhnya dan kupeluk meski meronta. Keranjang tehnya pindah ke tangan kanannya. Dia menutup pagar tanpa berbalik ! Berbelok ke kiri menuju tikungan jalan. Dia pasti ingat bahwa aku pernah meminta agar dia pergi dengan berjalan, bukan dengan taksi. Dia tahu aku punya kenangan buruk dengan taksi yang pergi.

Mataku mengkhianatiku. Dia basah tanpa minta persetujuanku. Lututku bergetar, ambruk. Rasanya ingin berteriak memaki betapa pengecutnya aku. Seharusnya tadi dia kupeluk, lalu kutuntun masuk. Seharusnya tadi dia kuajak melihat buku-bukuku. Berdiskusi sampai matanya sayu. Mestinya kubiarkan dia duduk di ranjangku sampai terjatuh. Lalu aku berjanji menjaga tidurnya yang katanya selama ini sering tersentak saat jam 3 pagi. Dia bilang dia benci jam 3 pagi. Matanya selalu basah dan sulit tidur kembali. Jika beruntung, dia mungkin mengijinkanku meletakkan kepalaku dekat lengannya karena sudah terlihat seperti ayam yang terkantuk-kantuk. Atau bisa jadi dia mengijinkanku berbaring di sampingnya. Memeluk punggungnya. Dia menekuk seperti bayi, dan wajahku penuh oleh rambutnya yang beraroma wangi. Kami bisa berbagi rindu dan perih masa lalu. Kami bisa berbagi hangat tanpa perlu melepaskan baju.

Aku melesat ke pagar. Berlari sampai kelokan. Bayang kimononya tak kutemukan. Warna hitam malam menertawakanku. Aku berlari hingga ujung blok. Tidak ada jejak yang kucari. Aku terus berlari. Dadaku pecah berhamburan ke mana-mana. Pecahannya membuat kakiku sakit menapaki tanah. Aku tidak bisa berhenti berlari. Jika aku singgah aku merasa nyeri sekali. Lampu-lampu jalan terbahak-bahak, aku tidak peduli. Aku berdoa semoga dia belum terlalu jauh. Ah, sudah lama sekali aku tak memohon pada Tuhan. Aku bahkan pernah tak mau peduli pada perputaran hari. Aku hidup hanya menunggu mati. Ah, apa ini ?

Aku tersesat di keramaian jalan. Kendaraan yang lalu lalang ribut dan cengengesan. Mereka menghina, mereka tertawa. Aku terengah-engah. Ingin kuteriakkan namanya. Sial ! Aku tidak tahu nama aslinya. Aku tidak pernah tanya di mana rumahnya. Aku tidak tahu nomor telephonnya. Sedang aku tidak mampu lagi pulang ke rumah dan mengais-ngais kenangan selama satu jam bersamanya. Kami tidak pernah bertukar kata dengan pita suara. Jangan-jangan dia telah check in di bandara, terbang negeri yang lebih jauh lagi dari sebelumnya. Dia selalu ingin pergi jauh, semakin nyeri semakin jauh katanya. Semakin dia nyeri, semakin kencang dia berlari. Aku mengutuk ketololanku. Seandainya saja...ah seandainya.

*** ***

“Kapan kau akan berhenti berlari ?”
“Entahlah”
“Apa yang kau cari ?”
“Rasa nyaman”
“Rasa nyaman yang seperti apa ?”
“Rasa nyaman yang membuat aku tidak ingin pergi lagi”
“Aku berdoa semoga kamu menemukannya”
“Terima kasih”

Emotikon senyum kulihat lagi di akhir kalimatnya. Dia mengirimnya dari kebun kecil di belakang rumah yang dia beli dari seorang penulis di Inggris dengan harga yang murah. Katanya discount karena telah merawatnya selama 2 bulan menderita stroke di rumah sakit di London tempat dia bekerja. Senyum yang sama, namun terasa sangat nyata. Kumatikan monitorku. Bergegas menuruni tangga belakang. Pohon mangga yang tahun lalu kutanam mulai meninggi. Aku mengendap-endap, takut suara rumput menimbulkan suara berisik. Dan hap ! Kudekap dari belakang perempuan yang tengah mengamati pohon kesayanganku itu.

“Mau mencuri yah ?” tuduhku. Dia meronta, kudekap makin kuat. Kuletakkan daguku ke bahu kirinya. Dia tertawa saat kugigit pelan telinganya.
“Apanya yang mau dicuri ? Buahnya saja belum ada” ledeknya. Kubalikkan tubuhnya. Aku menikmati wajah terkejutnya.
“Kau saja yang kucuri kalau begitu” kataku lalu menghujaninya dengan ciuman di kening, dua mata, hidung, dua pipi, lalu ke dagu. Kami tertawa. Tangannya kulihat menggapai gelas di atas meja. Di sebelahnya ada laptop dengan Yahoo Massenger yang masih menyala. Ini moment yang paling kusuka. Dia meletakkan kembali cangkirnya, sementara kupagut bibirnya yang basah oleh teh italia.
 



Gizan, 25 April 2011 @ 13:14 KSA

*sulengka : duduk bersila (bahasa Makassar)
*Yeah, heavy class deramer : mencuri istilah ini dari blog Dee Dee Sabrina :P
*Palpitasi : irama jantung yang tidak teratur



*Fiyuuuuuuh, akhirnya selesaiiiiiiiiiiiiii....cerpen berhari2 baru selesai..^_^

2 komentar:

{ Panggil aku Nova... } at: 28 April 2011 pukul 22.33 mengatakan...

Kueren.. Baru baca, mbak.

Tapi, kalo make bahasa yang bukan 'kata awam' kayaknya lbh bagus kalo dikasih tambahan keterangannnya deh, mbak. :)

{ Aku Kura-Kura } at: 29 April 2011 pukul 04.56 mengatakan...

iya, udah aku tambahin, Nov...tp di Kompasiana..hehe. Thanks ya :)

Posting Komentar

terima kasih atas komentar anda

 

Copyright © 2010 Nuri Note - Nuri Note - by Nuri Nura