Jejak Jejak di Jalan

Jejak Jejak di Jalan

Rindu, sebuah konsekwensi

| Sabtu, 23 April 2011
Mengapa waktu tak pernah berpihak kepadaku
Apakah aku terlalu..terlalu banyak berkelana

Mengapa kita masih saja tak pernah bersatu
Selalu saja bertemu bertemu saat kau milik yang lain

Mungkin kau bukanlah jodohku, bukan takdirku
Terus terang...aku merindukanmu
Setengah mati merindu

Malam itu tepat jam tujuh, dan lirik lagu ini menikam tepat pula di pusat jantungku. Di atas pete'-pete' jurusan veteran selatan, aku kembali diserang penyakit rendah diri dan pesimistis, inilah nasibku sebagai lajang yang mencintai kesibukan sebagai tameng dari kesunyian. Seharusnya aku liburan, tapi apa yang kulakukan malam ini di jalanan sendirian ?
Kuduga suara itu milik Judika, runner up Indonesian Idol sesion 2, karena vibrasi suaranya bisa membuatku ikut bergetar. Kutanyakan pada 2 penumpang perempuan yang baru saja naik, kelihatannya mereka mahasiswa, namun tak satupun yang bisa memberiku jawaban pasti. Lalu kutanya pada supir pete'-pete'  yang berdandan harajuku itu. Ah, sudah kuduga dia juga tidak tahu, lagu melow dan berat seperti ini tentu bukan favoritnya.
Orang-orang dalam pete’-pete’, pula aku, seperti larut dalam lirik-lirik lagu itu. Aku nyaris terisak. Bodoh ! Inikan cuma lagu, bahkan kerinduan antara aku dan Judika nyata berbeda. Judika merindukan perempuan yang dicintainya dan bersedia menunggunya. Sementara aku ? Aku mencintai seseorang yang tapi tidak bersedia menunggunya.
Kesamaan kami adalah di bagian dimana kami adalah pengelana yang merasa ditinggalkan oleh waktu. Kami sama-sama mencintai seseorang  yang sepertinya tidak mungkin untuk kami miliki. Setiap kali kami bertemu dengan kecintaan kami itu, mereka telah dimiliki oleh orang lain. Tidak jelas sebenarnya status kekasih Judika itu, apakah dia dimiliki oleh lelaki lain sebagai suaminya atau hanya kekasihnya. Tapi Judika, dengan sepenuh nyawanya menunggu cintanya. Ah, ketololan yang mengharukan.
Terlalu banyak berkelana...itulah alasan mendasar yang membuat aku selalu kalah. Setiap kali aku menjatuhkan cinta, cinta itu tidak mampu kupelihara. Cintaku kalah oleh eksistensi nyata. Ternyata bayangan maya, bagaimanapun indahnya, akan kalah oleh wujud yang ada, sesederhana apapun objeknya. Analoginya seperti bintang, semua orang mencintai pijarnya, namun tidak ada manusia yang akan meminang bintang sebagai pendampingnya. Selain terlalu tinggi dan jauh, bintang juga tidak bisa turun ke bumi dan membuatkan sarapan.
Berkali-kali kujatuhkan cinta...tapi tak pernah mampu kujaga. Pada akhirnya, orang-orang yang dulunya mencintaiku menjadi jenuh dengan ketidakpedulianku. Pula jika aku jatuh cinta, aku terlalu angkuh untuk segera mengakuinya. Terlalu banyak curiga, terlalu lama menunda. Ini yang dibahasakan oleh temanku sebagai “kesiapsiagaan terhadap bencana yang hanya aku sendiri yang merasakan”. Lha, ini kan proteksi diri , apakah dosa ?
Dalam beberapa kejadian, aku rela melepaskan kecintaanku pada  seseorang demi orang lain. Jika aku tahu bahwa kehadiran orang lain yang bernilai intensitas lebih tinggi dariku bisa membuatnya merasa lebih baik, aku akan memilih mengalah dan pergi. Setidaknya dengan merelakanya, itulah wujud kecintaanku secara nyata kepadanya. Aku tidak pernah  benar-benar memperjuangkan sebuah cinta, belum pernah !
Namun tidak ada gunanya berkilah, kenyataannya memang aku tidak pernah bisa menjadi juara atas cinta. Aku selalu jadi pecundang  di dalamnya. Meskipun aku mulai khawatir, apakah aku benar-benar tidak akan pernah menjadi pemenang. Aku memang belum pernah bertarung...aku pikir aku memang tidak perlu bertarung. Tidak masalah aku berjalan sendirian ...biarlah  terus begitu sampai waktu akhirnya mau berdamai denganku. Juga rindu, biarlah menjadi konsekwensi bagiku.

SensiModeOn....26 Oktober 2010
*tulisan lama, reposted ah...
*mulai sadar...ternyata sering overreacting sama lagu-lagunya Judika :(

0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih atas komentar anda

 

Copyright © 2010 Nuri Note - Nuri Note - by Nuri Nura