Jejak Jejak di Jalan

Jejak Jejak di Jalan

Lentera di wajahmu

| Jumat, 01 April 2011
Yang kutahu Mr. Shaker memang suka tersenyum. Bahkan dalan kondisi ruangan yang crowded sekalipun, dia masih bisa mengontrol dirinya untuk tetap bicara sopan. Intonasi bisa kuat, karena situasi juga menuntut kita untuk berteriak. Tapi dia satu dari sedikit orang yag kukenal yang mampu untuk tetap mengontrol kalimatnya dalam keadaan paling buruk sekalipun.
Mr. Shaker adalah nama kepala ruanganku yang baru. Setengah bulan lalu aku di transfer dari departemen bedah syaraf untuk cross traininng ke departemen gawat darurat. Jangan tanya bagaimana perasaanku. Hampir dua tahun kesempatan ini selalu kutunggu. Dari dulu, bekerja di bagian gawat darurat selalu menjadi favoritku. Situasi tak terduga, banyak cerita, tingkat mobilitas yang tinggi, sampai tak jarang kami harus berlari, itu membuat aku merasa hidup. Yah, aku merasa hidup di antara orang-orang yang datang meminta bantuan agar bisa terus bertahan hidup
.
“Selamat pagi, Nuri. Apa kabar hari ini ?” itu kalimat kudengar setiap hari darinya dan bisa diulang beberapa kali dalam sehari. Sejak dua tahun di negeri ini, aku akrab dengan basa-basi seperti ini. Sebelum memulai sesuatu, mereka akan menanyakan kabarmu terlebih dahulu. Efek pertanyaan ini besar, lho. Dia ibarat koma dalam kalimat, ibarat jeda dalam waktu, ibarat ekshalasi dalam napas. Bahkan untuk orang yang tengah marah sekalipun, jika di tanya apa kabarnya, dia tetap akan, dan harus, menjawab bahwa dia baik-baik saja. Dan memang benar, seketika kita akan merasa baik, meskipun setelahnya buruk kembali, tapi tidak lebih buruk dari sebelumnya.
Ini kalimat dahsyat. Meski sampai kini aku belum selalu bisa biasa mempraktekkan keseluruhan basa-basi ini, tapi aku merasa punya alasan untuk membuka mulut di saat-saat canggung. Ah, aku memang suka canggung dengan orang-orang baru. Mood ku juga tidak teratur meski dengan orang yang telah kenal lama. Untuk yang baru kenal pasti aku dikira sombong. Padahal aku bisa membuat orang tertawa oleh satu kalimat selama berhari-hari jika sudah akrab. Ini menurut teman-teman yang sudah lama kenal aku.
Jargon  3S awalnya diterapkan semi militer di masa-masa awal aku belajar menjadi perawat. Setiap kali berpapasan dengan senior, wajib hukumnya untuk memasang senyum, melayangkan sapa, serta memberikan salam. Bagi beberapa orang kala itu, salah satunya aku, pekerjaan ini sungguh menjengkelkan. Senior masih 5 meter di depanku, aku sudah mulai mengatur napas. Menyiapkan senyum terbaik yang kupunya, berdehem sedikit memastikan suaraku tidak serak saat mengucapkan “Selamat Pagi, Kak”. Sungguh ini menyiksa, apalagi jika yang disapa memasang tampang dingin, dan ternyata memberikan respon yang sangat tidak menyenangkan, diam atau pura-pura tidak melihat. Seakan-akan yang menyapa barusan hanya lalat saja. Duh, sia-sia persiapan 3S ku. Yang tersisa adalah trauma, juga rasa kecut yang entah dari mata tiba-tiba nyangkut di tenggorokan. Selanjutnya, aku dan beberapa teman lantas melakukan aksi curut. Lebih baik memilih jalan memutar, bahkan pernah melintasi got belakang asrama demi tak berpapasan dengan senior-senior berwajah dingin itu.
Tapi sungguh lain rasanya jika berpapasan dengan mereka yang ramah. Tak jarang mereka yang lebih dulu menyapa. Jika dari jauh kami melihat dia hendak ke arah kami, pekerjaan yang ringan segera kami tunda demi moment menyenangkan itu. Pernah lihat iklan pembalut yang pemakainya loncat-loncat saking ringan dan nyamannya ? Seperti itu kurang lebih visualisasinya (hehe...lebay nya). Senang rasanya jika yang disapa memperlambat langkahnya, menoleh ke kita, apalagi membalas dengan kalimat yang tak kalah baiknya. “Selamat pagi juga”.
Bertahun-tahun aku lalu belajar paham bahwa tidak selamanya 3S itu harus diterapkan secara lengkap. Artinya, jika tak sempat memberi salam, ya menyapa saja. Lebih singkat dan informal. Jika tetap tidak bisa, karena sariawan barangkali, atau memang lagi malas buka mulut, ya tersenyum saja. Itu sudah cukup mencairkan suasana. Tapi apa dinyana, tetap aja ada kadang aku masih dihadiahi kecewa.
Tapi kemudian, aku belajar hal lain. Tidak ada 3S yang sia-sia sebenarnya. Meskipun kita merasa kecewa, sesungguhnya bukan niat orang itu melukai kita. Bisa saja dia sibuk, sedang ada masalah hingga tidak fokus memperhatikan sekitarnya, sedang sariawan parah, tidak tahu bahwa senyum itu kita tujukan padanya, atau bisa saja dia memang marah pada kita tapi kita karena alasan yang tidak kita ketahui.  Satu-satunya jalan adalah kita ikhlaskan saja. Setelah kita memberikan paket lengkap senyum , sapa , dan salam kita, lalu ikhlaskan. Tidak usah berharap itu dibalas seketika. Sama kan dengan sedekah dalam arti yang sebenarnya. Kita berikan lalu kita lupakan, tidak usah dihitung-hitung kembali, apalagi berharap Tuhan segera mengirimkan balasannya apalagi termasuk dengan bunganya..hehe.
Jadi, tidak ada salahnya barangkali jika aku menyodorkan tulisan ini kepada para penggiat pelatihan dan akademisi, untuk menambahkan satu huruf lagi di belakang jargon andalan ini. Terakhir kudengar bukan 3S lagi, tapi bahkan sudah 5S (senyum, sapa, salam, sopan, dan  santun). Wah, makin berat saja yah tugas perawat sebagai bidadari di dunia. Kita dituntut tetap sopan, pula santun, sementara balasannya menyakitkan. Tapi sudahlah. Rumah sakit memang tempat orang-orang yang tengah sakit, baik fisik maupun mentalnya. Tambahkan satu kata ikhlas di belakang jargon kita , sehingga menjadi 5SI. Agar tidak banyak lagi yang menuai kecewa atau tiba-tiba kecut ludahnya karena merasa diacuhkan. Seperti kata Kak Wais, senior kesayanganku di instalasi rawat darurat rumah sakit tempatku bekerja di tanah air dulu, “Kalu kita ikhlas, Tuhan akan menyalakan lentera di wajah dan di hatimu”. Manis, ya, kalimatnya. Semanis orang yang menyampaikannya. Mr. Shaker dan Kak Wais adalah dua sosok yang nyaris sama. Dan aku suka keduanya. Mereka memang terlihat punya lentera di wajah dan di hatinya. Sehingga ketika berada di dekatnya, banyak yang merasa diterangi jiwanya. Yang kusuka, mereka tidak hanya bicara, tapi mereka juga mempraktekkan apa yang mereka ucapkan. Dan itu salah satu cara mendidik terbaik yang pernah kulihat seumur karirku.

Keep smile, nurse J


4 komentar:

{ flash fiction } at: 1 April 2011 pukul 16.47 mengatakan...

selalu menarik.. :)

{ Panggil aku Nova... } at: 2 April 2011 pukul 00.12 mengatakan...

***Tapi sungguh lain rasanya jika berpapasan dengan mereka yang ramah. Tak jarang mereka yang lebih dulu menyapa. Jika dari jauh kami melihat dia hendak ke arah kami, pekerjaan yang ringan segera kami tunda demi moment menyenangkan itu.***

Kalo papasan ama yang berkarakter ingin tapi ganteng ampun-ampunan, gimana reaksinya, mbak?
Hehehe

{ Aku Kura-Kura } at: 16 April 2011 pukul 06.23 mengatakan...

Daeng...kan dimotivasi terus sm Gubes :))

{ Aku Kura-Kura } at: 16 April 2011 pukul 06.30 mengatakan...

Nova...kl yg model gitu dikasih senyum aja cukup..lalu biarkan dia berlalu. Lama2 jg noleh sendiri kl dksih berkali2...hehe

Posting Komentar

terima kasih atas komentar anda

 

Copyright © 2010 Nuri Note - Nuri Note - by Nuri Nura