Jejak Jejak di Jalan

Jejak Jejak di Jalan

Kapurung dan Sabitha

| Jumat, 01 April 2011
"Tell me about your favorit food" tanya Sabitha, temanku, suatu hari saat kami sedang santai di pantry. Suasana ruangan sedang sepi saat itu berhubung hari kamis. Kamis disini ibarat sabtu di tanah air. Akhir pekan orang lebih tertarik bermanja-manja ke taman dari pada merengek-rengek di rumah sakit :)

Dia tertawa saat kubilang aku bisa makan apa saja asal bisa kutelan dan kukunyah. Memang kenyataannya seperti itu. Sejal kecil aku diajari makan apa saja yang tersedia. Saat kuliah yang paling parah, aku pernah makan makanan basi setelah dimasak kembali. Dia makin tertawa, mungkin dikiranya aku berbohong. Ah, kau tak tahu saja kawan, aku bahkan pernah makan daun-daun saja saat kelaparan di tengah hutan.

"Okey, tell me about your favorite food" tanyanya lagi. Rupanya gadis India ini punya banyak waktu mendengar kisahku. "Okey, i love traditional food, and its delicious. Don't blame me if you feel hungry after this". Dia menggoyang-goyangkan kepalanya kekiri dan ke kanan, pertanda sepakat.

Kuputuskan untuk menceritakan tentang Kapurung dan Sara'ba padanya. Selain karena memang keduanya kegemaranku, aku siap jika dia kelak tergoda dan aku ditodong untuk membuatnya.

"Kepyuranje' ?" , aku tersedak mendengar dia membaca tulisanku. Bisa-bisanya dia mengubah namanya menjadi merk India begitu. "No. Ka...pu...rung " tuntunku dengan serius memonyong-monyongkan mulutku. Dua tiga kali dia mencoba, dan berhasil. Lalu dia memintaku menceritakan seperti apa kedua makanan itu.

Lalu kujelaskan bahwa Kapurung adalah sejenis sup yang mengenyangkan, makanan khas daerah Palopo, satu kabupaten yang masih satu pulau denganku. Isinya macam-macam sayuran, ikan, kadang ayam, juga udang, berkuah, dengan bumbu-bumbu segar dan tentu saja hangat. Kukatakan, bahwa kalau kau memakannya saat sedih, kesedihanmu akan hilang, kalau kau makan saat kau senang, makan kesenanganmu akan makin bertambah. Matanya yang cantik itu berbinar. "Really ? ", kuanggukkan cepat, aku memang tidak tengah berbohong karena itu yang kurasakan.

Kulanjutkan dengan Sara'ba'. Minuman hangat yang perkasa mengusir dingin dan letih. Sedikit hiperbola saat kubilang bahwa ada daya listrik setiap kali meneguknya. "How come ?" ekspresinya kali ini lebih norak dari sebelumnya. Aku tertawa saja.

Dan hal yang kuprediksi benar terjadi. Dia memintaku membuatnya. Untuk sara'ba', kutolak saja karena aku belum pernah menemukan bahan-bahannya di negeri ini. Mungkin ada di pasar tradisional, tapi aku belum pernah punya kesempatan mencarinya. Tapi kalau kapurung, aku bisa membuatnya dengan bahan-bahan yang ada di kulkas. Masih ada sisa tepung sagu dilemari yang sempat kubawa dulu.

Malam itu kami duduk di atap apartemenku, dia datang berkunjung dan membawa keripik pisang kering dari India. Dua mangkok besar kapurung ikan ada di hadapan kami yang duduk sulengka di atas tikar jerami buatan Cina.

Sebelum makan kulihat dia menyatukan kedua tangannya, sepertinya berdoa. Adegan ini biasa kutonton di TV. Mungkin dia berdoa agar tidak mati setelah memakannya. Dan dia mencicipinya, nampak terkejut, lalu diam. Sejenak aku diserang harga diri rendah. Pastilah rasanya buruk, beda dari yang kugembar-gemborkan. Tapi dia melanjutkan ke sendok kedua, ketiga, dan masih diam. Ah, mungkin hanya sebagai penghargaan saja karena aku telah memasak untuknya hingga bersusah payah menghabiskannya.

"Sorry, i'm bad in cooking" kataku menyesal. Dia menggeleng, kudengar dia menarik napas dan mengusap hidungnya yang berair. "It's hot ! " serunya dan membuat suasana berubah. Aku tergelak melihat dia mengipas-ngipas lidahnya. "But really i like it ! " katanya lagi sambil melanjutkan suapan keempat, kelima, keenam, sampai kapurung itu habis dan mangkoknya benar-benar kering.

Aku terus tertawa saat dia dengan penuh ekspresi menceritakan rasa makanan yang baru saja dia cicipi. Tentu dengan gaya meniup-niup karena kepedasan. Kuiyakan saja saat dia bertanya apa ku memasukkan kacang, bawang, juga beberapa cabe ke dalam kapurung itu. Katanya dia senang dengan bola-bola tepung lembut yang dia temukan, juga rasa ikan yang diselimuti bumbu. Kurasa ia memujiku berlebihan. Padahal menurutku, kapurung ini biasa saja, masih lebih hebat kapurung langgananku di jl. cedrawasih di makassar sana. Tapi dia bicara sambil menggerak-gerakkan leher dan  kepalanya, itu pertanda dia tulus adanya.

Kemudian dia mulai bercerita tentang dirinya, keluarganya, juga alasan kenapa dia datang ke negeri ini. Juga tentang dauri, mas kawin yang harus disiapkan seorang perempuan India jika ingin menikah. Aku tahu ini sebelumnya dari film, tapi saat kudengar langsung darinya, entah kenapa aku disusupi rasa kagum. Ah, sejenak kulirih hidung mancungnya, juga ukuran dadanya yang lebih besar dari punyaku. "Kalau kau di negaraku, laki-laki akan membayar mahal untuk bisa menikahimu" kataku membuat senyumnya mengembang. "Kau tahu, Nur, kau benar tentang makanan ini. Setelah memakannya kesedihanku hilang, dan aku merasa senang. Ini pertama kalinya aku mencicipi makanan Indonesia. Dan aku yakin, semua orang Indonesia berhati baik sepertimu".

Ternyata sebuah makanan bisa memberikan kesan yang begitu berarti pada seseorang. Sampai-sampai memberi pendapat yang berlebihan menurutku. Tapi aku senang, setidaknya aku berhasil menjadi duta Indonesia malam itu. Setidaknya karena masakanku, satu orang India telah percaya bahwa orang Indonesia itu baik semua. Semoga tidak akan ada yang mengubah anggapannya.

What a sweet friendship :)


Nuri dan Sabitha



2 komentar:

{ Sarabba' Sungai Cerekang } at: 1 April 2011 pukul 16.58 mengatakan...

lidah seperti ingatan (atau setidaknya, sebagai salah satu indera, pengecap punya memory sendiri).
maka, selera makan adalah cerita tentang masa kecil, keluarga, kampung halaman dan identitas kultural kita

{ Aku Kura-Kura } at: 16 April 2011 pukul 06.17 mengatakan...

iye'...dan kapurung salah satu yg terbaik di antaranya. Makasih telah singgah :)

Posting Komentar

terima kasih atas komentar anda

 

Copyright © 2010 Nuri Note - Nuri Note - by Nuri Nura