Jejak Jejak di Jalan

Jejak Jejak di Jalan

Badai Pasir

| Jumat, 29 April 2011
Waktu itu Ramadhan, sekitar bulan agustus dua tahun lalu. Dinas pagi yang menakjubkan. Hari kamis di Saudi sama seperti hari sabtu di Indonesia. Dokter yang visit cuma satu. Dokter Jawaid Asraf, orang India. Visit dengan dia asyik. Selain baik, dia tidak suka tanya yang aneh-aneh, bukan tukang suruh-suruh bersuara besar seperti dokter lain. Heran, beberapa dari mereka mungkin masih membawa kebiasaan di negeri asalnya: nyuruh-nyuruh perawat. Memangnya kami pesuruh?  Kalau dibalik, kami yang “menyuruh mereka”  untuk meng-input semua data ke komputer, mengisi lengkap semua lembar order sekaligus lembar visit-nya, re-copy daftar obat...mereka juga mengeluh dan marah. Padahal kan itu sudah bagian tugas. Heran. Beberapa dari mereka, termasuk perawat juga sih sebenarnya, mengeluh akan tugasnya. Heran, bukannya sudah pada tahu. Yang lebih aneh lagi, kalau mereka berteriak dan marah. Memangnya yang jadi sasaran kemarahan itu adalah pembuat aturan itu ? Prihatin. Marahnya salah alamat.
Jam tiga sore, menunggu saat-saat endorsement. Lagi tiba-tiba gelap.

Sempat heran, kenapa ruangan jadi redup dan lampu-lampu darurat ikut dinyalakan ? Kupikir sudah magrib, sempat gembira akan berbuka puasa. Ternyata di luar ada badai pasir. Dari balik jendela rumah sakit lantai tiga, aku terpukau menatap suasana di luar yang diselimuti pasir seperti kabut. Angin bertiup kencang. Suara-suara mencekam terdengar dari lorong-lorong ventilasi. Pohon-pohon kurma menari. Lampu-lampu pelataran parkir dinyalakan, persis suasana menjelang magrib. Seumur hidup, itu pertama kalinya aku menyaksikan badai pasir secara live. Kuutarakan kekagumanku pada Shemi, senior dari India. “Yeah, that’s sand strom” katanya santai. Sebelas tahun bekerja di Saudi, pemandangan seperti itu pasti telah ratusan kali dia nikmati.
Kulihat staff perawat jaga sore berdatangan dengan abaya hitam lengkap dengan tarha dan cadarnya. Mereka tampak terengah-engah. Abaya dikebas jauh agar tidak mengotori seragam putih-putih mereka.
“Jadi kita gak pulang nih ?” tanyaku lagi pada Shemi
“Bisa saja kalau kau mau mandi-mandi pasir” jawabnya. Aku sadar, pertanyaanku konyol. Hehe.
Tiga puluh menit kemudian, badai pasir perlahan menipis. Lalu disiram hujan. Ah, Gizan memang indah. Dulu aku sedih karena ditempatkan bukan di ibukota. Tapi Gizan ketika disapa hujan, sungguh membuat aku merasa senang. Ada kenangan yang menjentik. Ada aroma yang menggelitik. Ada cerita-cerita usang yang berdendang. Meski datangnya dari negeriku yang jauh, tetap saja semua itu tidak kehilangan sensasi saat kembali mencumbu.
Pernah beberapa kali aku menerobos badai pasir. Ketakutan sudah menipis. Meski sesekali masih mengerikan memang. Tapi kuanggap seperti latihan. Siapa tahu nanti aku akan bertemu dengan badai salju. Di negeri lain yang lebih jauh.

Pemandangan di atap flat setelah badai pasir (Nuri's pic)


0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih atas komentar anda

 

Copyright © 2010 Nuri Note - Nuri Note - by Nuri Nura