Jejak Jejak di Jalan

Jejak Jejak di Jalan

Hujan Yang Meloncat

| Jumat, 22 April 2011
 “Masih ada sisa indomie mu ?”
“Ada, tapi satu mami”
“Biarmi, kita kasih banyak-banyak airnya. Nanti saya yang beli telur”
Itu rencana makan siang kami. Dua siswi miskin yang nekad sekolah perawat di kota dengan uang mingguan yang sekarat. Kami melintasi lorong samping sekolah sambil menghirup dalam-dalam aroma bakso dan pangsit yang selalu dipadati siswa-siswa lain yang punya jatah jajan berlebih. Pernah kami cicipi, sesekali, tapi tidak sesering yang lain. Menghirup aromanya saja sudah cukup menggiurkan untuk makan siang nanti. Lapar memang bumbu paling sedap.
“Besok kita beli indomie trus kita siram pake air pangsit deh” usulku pada Umy setelah membereskan makan siang kami. “Iyo, beliki juga baksonya seribu” lanjutnya.
Kami rebah di kasur tipis yang tidak memberi efek berbeda  dengan lantai papan yang kami pijak. Kamar kostku sempit, tidak ada kipas angin dan TV. Yang ada hanya radio tua, buku-buku, juga sebuah jendela kecil tempat angin panas sesekali berhembus masuk. Kami menatap plafon, diam dengan khayalan masing-masing. Jam pelajaran berikutnya masih 2 jam lagi.
Kami bisa dibilang tidak punya uang jajan. Ayahku memberiku jatah antara tujuh sampai sepuluh ribu rupiah seminggu. Seandainya  itu murni untuk jajan, artinya aku bisa punya sekitar seribu rupiah setiap harinya. Cukup untuk membeli dua buah kue setiap hari. Sementara Umy dijatah lima belas ribu rupiah setiap minggunya, itu termasuk ongkos pete’-pete’ karena dia tinggal di rumah tantenya. Tapi nyatanya kami tidak bisa jajan. Uang kami selalu melayang untuk kebutuhan tak terduga seperti biaya fotocopy, sumbangan-sumbangan, dan entah apalagi. Untuk menghemat, Umy sesekali  bermalam di kostanku. Kami tidak menyalahkan orang tua kami yang tidak menganggarkan biaya khusus untuk pembalut, bedak, lipgloss, dan parfum. Meski itu perlu, tapi ternyata kami malu untuk merengek. Aku pilu pada keringat ayahku yang menjadi jongos para anggota dewan, Umy juga perih pada napas bapaknya yang terengah-engah mengurusi kebun. 
Kirimmu itu tulisanmu, nanti saya yang bayar warnetnya” usul Umy hari itu membuat aku berbunga-bunga. Ada sebuah lomba membuat skenario film yang kubaca dari sebuah majalah. Berhadiah uang. Aku belum pernah menulis skenario film, tapi Umy meyakinkan bahwa aku bisa. Jumlah nominal hadiah ketiganya saja sudah cukup membuat kami senang. Angka lima ratus ribu rupiah ternyata mampu membuat semangat kami terpompa. Aku menghabiskan jam-jam istirahat dengan menulis dan bertapa di perpustakaan, sementara Umy berjalan kaki sejak setengah enam pagi dari rumah tantenya ke sekolah demi menghemat biaya pete’-pete’. Kami dibayangi mimpi makan pangsit dengan banyak bakso dan kerupuk, membeli parfum, membayar arisan, membeli baju-baju, dan banyak lagi keinginan lain. Bagiku, jika menang nanti, aku ingin membeli kipas angin kecil.
Malam perjuangan. Umy menginap di tempatku. Berbekal setumpuk tulisan dan uang lima ribu rupiah, kami bergerak ke warnet. Kami membawa bekal air minum agar tidak kehausan. Kami melintasi jalur samping rumah sakit yang menyatu dengan sekolah kami. Rumah Sakit Bhayangkara tengah ramai malam itu. Kami kerap menghabiskan malam minggu untuk ikut jaga malam. Meski baru diijinkan melakukan tindakan sederhana dan lebih banyak urusan bersih-bersihnya, kami senang bisa menonton langsung aksi penyelamatan yang mengagumkan. Tapi malam ini, aku dan Umy sedikit sombong. Seorang senior berseragam setengah perawat setengah polisi berteriak dari arah gerbang UGD. “Wooi, tidak ikut jaga malam ?” tanyanya. Aku tersenyum, agak gugup. “Minggu depan pi, Kak. Ada proyek besar dulu ini malam” jawab Umy tak kusangka. Aku membelalakkan mata. Dia tertawa, ceria sekali dia.
Aku mengetik seperti kesetanan, sementara Umy mendikte sampai kehausan. Kami cuma punya uang lima ribu, artinya waktuku cuma satu jam untuk menyalin tulisan itu ke email.  Warnet yang sempit, pengap dan ramai oleh suara musik itu membuat aku cukup kesulitan mendengar suara Umy. Tapi demi hadiah, juga mimpi-mimpi akan barang-barang yang hendak kami beli, kami berjuang berpeluh-peluh malam itu. Sesekali jaringan error dan kami diserang kecemasan. Setelah yakin tulisan terkirim, kami berebutan keluar dari hingar bingar warnet yang lebih mirip diskotik itu.
Diperjalanan pulang, kami melintasi STIEM Mappaoudang. Beberapa mahasiswa baru keluar dari gerbang kampus. Kami lalu membahas tentang kuliah. Aku bilang aku mau kuliah ke luar negeri suatu hari nanti, jadi terkenal dan punya uang banyak. “Jangan ko lupa ka nanti nah kalau terkenal moko” ancam Umy. Kupeluk lengannya. “Bisa pi itu. Nanti saya kasih ko tanda tanganku” kataku sombong. “Tanda tangan di atas cek, nah” katanya lagi. Kami tertawa, terus tertawa. Tak terasa kami telah melintasi rumah jabatan Kapolda yang megah dan banyak penjaga, melintasi penjual terang bulan dan sate madura yang berjejer di depan SMA 11 Makassar, melewati jejeran penjual sara’ba’, melewati penjual pangsit samping sekolah, melewati penjual burger yang menyiapkan pesanan pasien keluarga VIP, melewati penjual nasi goreng di persimpangan jalan mallombassang, melewati pos-pos tentara armed, menikung ke kiri, masuk ke kostan ku yang sempit dan pengap. Kami telah kenyang dengan semua pemandangan yang kami lewati. Kami siap-siap tidur memeluk mimpi, kudengar suara Asdar Muis membacakan puisinya di kolom udara.
**** ****
Hampir delapan tahun berlalu. Aku telah mendobrak banyak tembok ketakutan, mengambil keputusan mengejutkan, dan menerima banyak kenyataan pahit. Aku tidak lagi bersama Umy. Setelah lulus sekolah, kami pelan-pelan kehilangan jejak. Pernah aku diserang rindu dan mendatangi rumahnya di Samata Gowa sana, tapi ibunya bilang dia tengah bekerja di Rumah Sakit Ibnu Sina. Ah, Umy memang hebat. Jagoan fisika yang piawai menyanyi itu ternyata sudah punya penghasilan. Mimpinya sederhana tapi segera menjadi nyata. Sementara aku saat itu masih tengah kuliah, masih membebani orang tua. Mimpiku terlalu muluk-muluk memang.
Ah, aku  tersedak haru saat ibunya memberiku dua liter beras dan sebiji mangga mengkal yang besar. Mengingatkan kenangan makan siang kami dulu. Di rumah sederhana itu aku pernah melewatkan waktu semalam. Kami makan ubi goreng di paladang sambil memandangi bapak dan adik Umy menggiring kerbau masuk ke kandang.
Aku selalu mencari Umy, tapi tidak pernah berhasil. Tapi beberapa kali  kujumpai orang-orang yang mengaku mengenalnya. Meski aku yakin orang-orang ini akan menyampaikan kisahku pada Umy, tapi sungguh aku ingin bertemu langsung dengannya, memeluk lengannya. Ingin kusampaikan terima kasih atas perjuangan kami di warnet malam itu. Meski tidak menang, tapi justru itulah moment pertama yang menguji keberanianku mengirim tulisan pada media selain majalah dinding sekolah. Umy mungkin sudah merelakan uang lima ribunya, tapi bagiku itu utang besar yang tidak akan pernah bisa kubayar.
Pagi ini aku terbangun. Langit Gizan nampak cerah. Di lantai kamarku masih berhamburan barang-barang sisa konferensi YM semalam ; buku-buku, gelas teh, kertas-kertas kecil, bungkusan kue, charger, dan handphone dengan banyak pesan masuk. Kulirik blog , kompasiana, juga facebook. Ah, tidak ada yang menarik. Beberapa pemberitahuan menampakkan angka merah. Ku klik dengan malas. Dan aku tersentak !
Ternyata  hujan tidak harus selalu diawali dengan mendung. Dia bisa tumpah seketika tanpa kita duga. Tidak bisa dicegah, tidak ada rencana, dan kita harus pasrah untuk basah. Sebuah permintaan pertemanan dengan wajah yang sungguh ku kenal. Itu Umy ! Air mataku meloncat , berhamburan, aku gemetar. Ku klik namanya, berusaha meyakinkan. Di wall nya dia menuliskan tentang kerinduannya padaku. Aku kembali tersedak oleh haru. Umy ternyata juga mencariku. Kukomentari semua tulisannya di wall ku. Sayang foto profilnya hanya satu. Tapi itu sudah membuat aku merasakan kehadirannya. Duh, hujan turun di kamarku. Tidak mengalir. Tapi meloncat. Loncat ke keyboard, loncat ke layar, loncat ke jariku, loncat ke jantungku. Hujan itu meloncat-loncat merayakan pertemuanku kembali dengan sahabat lamaku.
Umy adalah salah satu dari sedikit sahabatku. Ketika aku telah menjadikan seseorang sebagai sahabat, artinya aku telah mempercayakan kunci masuk ke dalam hatiku. Tidak banyak yang bisa masuk ke situ. Dan jika terlanjur masuk, tidak mudah untuk mengeluarkannya dari situ. Umy dulu selalu berusaha mendukungku, Umy paling jujur memuntahkan semua kekuranganku, Umy paling tahu sampah-sampah pemikiranku, dan Umy berani tetap berdiri di  sampingku saat orang-orang menganggap aku sebagai masalah.
Banyak hal berkesan denganmu, sahabat. Tapi saat ini aku tengah dihanyut bahagia. Ini cuma sepenggal kisah tentang kita. Belum kutulisakan tentang lagu-lagu asing yang kita ganti liriknya, belum kutuliskan tentang curhat-curhat kita mengenai cinta, tentang prestasi-perastasi kita, tentang kejahatan-kejahatan kita, tentang semuanya. Kau tahu, Umy, aku tidak menemukan kata lain yang lebih perih dari rindu. Jika pulang nanti, takkan kutunda waktu untuk segera memelukmu. Ah, ini melankolis, tapi sungguh aku sayang padamu.

Gizan, KSA @14:27
 

0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih atas komentar anda

 

Copyright © 2010 Nuri Note - Nuri Note - by Nuri Nura